Halaman

Sabtu, 14 Februari 2009

Senandung Lirih Setengah Dien


Aku masih tergugu, mematung. Sebuah kertas tebal persegi panjang dengan motif tapis pucuk rebung tergenggam ditanganku. Erat, sampai terasa akan terberai dari bentuknya. Sebuah undangan pernikahn. Seharusnya aku senang membaca nama yang tertera di kertas itu. Namun sebuah rasa begitu menyesak di dadaku, kecewa. Entahlah! Rida Dalina, tentu aku mengenal nama itu, ia karibku sejak sekolah menengah atas. Namun nama yang pria aku tak kenal. Tapi tunggu dulu, sepertinya aku pernah mendengarnya. Tak salah lagi, aku pernah mendengarnya satu kali. Aku semakin meremas kertas ditanganku. Tergiang kembali percakapan sebulan yang lalu, dirumah ini, di ruangan ini, kamarku. Saat itu aku menyempatkan diri untuk pulang ketika jenuh dengan kuliahku yang belum jua selesai.

**@Z**

“Kapan kalian menikah? Bukankah kalian sudah sama-sama bekerja, PNS pula. Pacaran sudah tiga tahun, keluarganya pun sudah mengenalmu, bahkan mengenalku juga. Apalagi yang kalian tunggu?” tanyaku membuka percakapan

“Ya, kami pun sudah berpikir ke arah itu. Aku pun sudah tak tahan disindir, hanya tinggal aku sendiri yang masih lajang dilingkungan rumahku. Masalahnya, Bung belum tahu hubungan kami. Kau tahu bung, kan? Ia tak suka orang jawa. Oke, sudah kucoba saranmu untuk mendekati keluargaku dan meminta tanggapan mereka kalau mandapat menantu jawa. Berhasil memang, tapi hanya pada emak, Atu, Adien, dan tentunya Uni juga, tapi tidak pada Bung” Jawabmu

“Masa tak ada jalan lain, bukankah uni Melly menikah dengan orang jawa juga, dan buing bisa menerima itu” timpalku

“Ya, itulah yang dikatakn uni. Dulu Abah juga marah besar, tapi akhirnya bisa juga menerima suami uni. Uni bilang sekarang akan lebih mudah, karena abah sudah tiada, hanya tinggal bung yang harus dibujuk. Tapi justru itu, bung mewarisi keras kepala abah. Lagipula semua keputusan keluarga kini berada ditangan bung.

Sebenarnya bisa saja aku dan Adi nekad larian, tapi kami tak ingin itu terjadi kalau masih ada jalan yang lebih baik. Ah, kalau saja uang sepuluh juta sudah terkumpul, maka jalannya akan lebih mudah. Tapi tabungan Adi yang baru lima juta kini habis tak bersisa, untuk menambahi biaya operasi kanker ibunya sebelum meninggal beberapa bulan yang lalu. Belum lagi biaya sekolah Andri, adiknya. Aku mengerti jika Adi adalah anak tertua yang harus membantu ayahnya membiayai keluarga. Tapi seharusnya untuk saat ini, Adi memfokuskan biaya untuk pernikahan kami” jelasmu panjang lebar

“Sepuluh juta? Untuk sesan? Mungkin terlalu berat bagi Adi, mengapa tidak diturunkan saja.” Kataku sok tahu

“Aku mau saja, bahkan pernikahan sederhanapun tak apa-apa. Tapi keluarga besarku pasti tidakl akan terima. Lagi pula uang itu tak hanya untuk sesan, tapi untuk pesta juga. Kau tahu untuk menyewa panggung saat ini sangat mahal, uang sepuluh juta tak ada artinya. Itu tidak pakai acara begawi, kalau begawi maka uangnya bisa ratusan juta” jawabmu

“Kalau begitu larian saja, prosesnya lebih mudah” saranku

“Sama saja. Memang sih larian dilakukan bila keluarga si mulei tidak setuju dan untuk memperkecil pintaan sesan. Tapi tetap saja akan memakan biaya yang cukup besar”

“ Ya nggak sama dong. Kan kalau larian, mau tidak mau keluargamu akan setuju dan uang sesan bisa di nego” kataku menyimpulkan

“Sama saja Andini, sayang. Selama hari pernikahan belum ditentukan, si mulei akan berada dirumah keluarga mekhanai, di rias layaknya pengantin, karena ada acara nyubuk yang dilakukan keluarganya. Dan kita harus menghidangkan makanan seperti pada saat pesta. Jadi sama saja, butuh biaya besar” jelasmu sabar

“Oh begitu prosesnya, ribet banget. Layaknya pengantin setiap hari? Apa ga capek? Terus kamu kan pakai jilbab, gimana pakai sigernya? Tanyaku sambil menunjuk jilbabnya yang semakin kecil saja dimataku.

“Itulah, aku juga tak tahu. Tapi yang jelas aku ingin mempertahankan jilbabku” jawabmu dan aku mengangguk, menguatkan. Lalu tiba-tiba kau mengeluh

“Aku akan jujur padamu, karena kau lah sahabat terdekatku, din. Sebenarnya aku sudah putus asa tentang hubunganku dengan Adi. Sejak kami sama-sama tamat kuliah dan pulang ke kampung masing-masing, kami hanya berkomunikasi via sms dan jarang bertemu.”

“Putus asa gimana? Jangan…jangan kau…”

“Dengarkan aku dulu, din. Walaupun emak bisa menerima dari suku apapun suamiku kelak, tapi emak tetap menyarankanku untuk mencari cadangan, karena belum tentu aku jadian dengan Adi. Lagipula jauh dilubuk hatinya, emak berharap bisa dapat menantu Lampung dari garisnya yaitu Panaragan, karena bung dan adien telah menikahi mulei Abung, jadi hanya tinggal diriku yang bisa memenuhi permintaan emak, karena aku bungsu.” Jelasmu

“Terus, maksudmu kau akan cari cadangan, begitu? Semburku kesal

“Aku tidak bermaksud begitu. walaupun, baru-baru ini ada dua orang yang menyatakan cinta padaku. Dua-duanya lampung, tapi aku belum memberikan jawaban apapun pada keduanya. Yang seorang namanya Bahtiar, pegawai Pemda, entahlah aku bingung mengapa keluarganya tiba-tiba telah mengenalku. Yang seorang lagi namanya, Sandyawan. Ia gagah, dan tampan, sering menelpon dan main ke rumahku, tapi aku belum tahu apa pekerjaannya. Kalau melihatnya, orang pasti akan langsung tertarik. Tapi semoga aku memilih suami bukan karena parasnya” ujarmu sambil tersenyum, ah entahlah terasa aneh bagiku.

“Sudahlah, jangan main-main lagi. Kau kan tahu sendiri, pacaran saja sudah dilarang dalam agama kita, tapi kamu justru mau mendua? Lalu bagaimana dengan Adi? Sudahlah kalian menikah saja, dan undang aku” ucapku segera

“Makanya doakan agar aku segera menikah. Dan kamu adalah orang pertama yang akan ku beritahu setelah keluargaku tentu saja, aku janji” katamu sembari menggenggam tanganku, dan kita pun tertawa.

**@Z**

Itu percakapan sebulan yang lalu. Dua minggu yang lalu aku tak pernah bisa menghubunginya lagi. Hp nya selalu tak aktif. Bingung, tapi tak kugubris karena aku sedang sibuk ujian semester. Lalu kini ada undangan ditanganku! Tanpa pemberitahuan sebelumnya. Yang membuatku sangat kecewa, aku justru diberitahu orang lain tentang pernikahanmu. Adi, pacarmu itu yang memberitahuku. Belum hilang rasa kagetku, ia pun menuduhku berkomplot denganmu, menyembunyikan berita ini. Sungguh aku tak mengerti apa yang terjadi padamu! Mengapa semuanya berjalan tanpa terduga? Bukankah kau akan memberitahuku? Lalu mengapa?

**@Z**

Disinilah kini aku berada, di pesta pernikahanmu, Rida. Kulirik pria yang berada disampingmu. Itukah pria yang telah melarikanmu? Ya, kau dilarikan bukan larian. Itu artinya sama saja dengan kau diculik. Tapi mengapa kau tak berontak? Mengapa tak lari? Mengapa…? Ah, apakah tradisi adat yang telah membelenggumu, tak mengizinkan kau untuk bisa berontak? Karena jika kau berontak, maka aib akan menimpa keluargamu? Tapi bukakankah adat dibuat tak sembarangan? Adat tidak akan membuat seseorang menderita, kau bisa melaporkan pada polisi, atas kesewenangan yang terjadi padamu, jika kau tak setuju. Tiba-tiba sebuah senyum misterius melintas dihadapanku, senyumanmu sebulan yang lalu. Senyum saat kau berkata untuk tidak memilih seseorang karena parasnya. Kini aku mengerti arti senyum itu, kau memang menyukai pria itu kan? Ya, suamimu bernama Sandyawan, yang kau katakan gagah dan tampan.

Bahagiakah kau, Rid? Bahagiakah kau dengan sesan yang entah berapa jenis banyaknya. Pesta yang sungguh meriah, tabuhan musik adat menggiring langkahmu dan suamimu menaiki panggung untuk bernyanyi, hidangan yang melimpah, tamu yang tak henti berdatangan, tetua-tetua adat yang berpantun senang. Sebuah kebahagiaan bukan, jika dipernikahan banyak yang datang, karena berarti doa restupun mengalir juga.

Tapi beberapa saat kemudian aku terduduk lemas Rid, ketika Atu Elia bercerita sambil menangis. Bahwa mereka tak tahu menahu kalau kau dilarikan, karena pada hari itu semua keluarga sedang berada di rumah sakit, menunggui bung yang kecelakaan. Yang sangat mereka sesalkan adalah suamimu tak punya pekerjaan, selama ini ia menghidupi lima orang adik dan ibunya dengan memalak pedagang-pedagang di pasar pekon atau terminal. Dan yang membuatku lebih terkejut lagi ketika Uni Melly mengatakan kalau suamimu meminjam uang untuk sesan dan pesta yang meriah ini. Tak kudengarkan lagi apa yang dikatakan oleh Atu dan Uni selanjutnya. Terbayang olehku beberapa tetanggaku yang ongkang kaki dirumah sementara istrinya bekerja banting tulang. Mungkinkah proses pernikahan mereka sama sepertimu Rid? Nauzdubillah.

Maafkan aku Rid, aku telah salah menuduhmu. Harusnya aku tahu kau tak menginginkan hal ini terjadi padamu. Buktinya wajahmu terlihat sendu, tak ada senyum bahagia, hanya senyum paksa yang coba kau sunggingkan pada setiap tamu yang menyalamimu. Wajahmu mengernyit, payah menahan siger yang bertengger disanggulmu, Satu lagi yang membuatku perih, jilbabmu dipaksa lepas pihak suamimu. Pandangan matamu kosong, ingin rasanya aku menangis, memeluk dan menghiburmu. Tapi itu tak bisa kulakukan apalagi dihadapan para tamu undangan. Ah…tiba-tiba semburat kelabu menutupi langit yang tadi tampak biru, seakan ikut merasakan kesedihanmu langitpun mencurahkan tangisnya, menerjang celah-celah singgasanamu. Tangis itupun terasa menyusup dingin ke pori-pori tubuhku, saat kulangkahkan kaki meninggalkan tempat sandingmu. Hanya doa tulus yang kulantunkan, semoga kau tegar dan bisa membina rumah tangga yang bahagia.

**@Z**

New Cafe, 12:59 AM

Spesial untuk Feb, Menggenapkan setengah dien berarti menambah satu orang saudara, bukan justru menghilangkannya.^-^

1 komentar:

Ariya Des Utami mengatakan...

ini komen Reva yang dikirim via sms:

Mekhanai lampung. adat mana dijunjung?bumi mana dipijak? tabiat tokoh bukan hanya terjadi di lampung tapi juga di minang. ortuku juga lebih milih mekhanai lampung. aneh ya?