Halaman

Rabu, 24 September 2008

LELAKI YANG TERPASUNG SENJA

Aku selalu membisu bila mereka berbicara pernikahan. Bukan aku tak mau, hanya saja ini manifestasi dari protesku. Aku tak menyesali hal ini, biarkan saja mereka yang merasa menyesal. Tokh mereka yang menciptakan aku begini. Setelah terpuruk begitu lama, kini aku berani bangkit merajut kembali jaring-jaring kehidupanku. Yang kutahu makin lama makin luas, sampai tak ingin kembali ke pangkal. Namun aku menikmati jaring-jaring ini. Aku merasa terlindungi. Memang ibarat tornado jalanku kini, meratakan semua bangunan yang dilalui, membuat setiap yang kehilangan meneteskan airmata, meratap perih. Termasuk mata mereka. Mata Ibu dan kedua kakak perempuanku.

Dejavu itu selalu terjadi, berulang-ulang kali. Dari aku ataupun dari mereka -ibu dan kakak perempuanku- Bahkan saat tak jarang kedua kakakku yang telah menikah itu, memboyong anak-anaknya selama beberapa hari kerumah ini, rumah ibu. Tujuannya tak lain tak bukan, bermaksud melunturkan niatku. Selalu semua itu yang terulang. Keenggananku untuk menikah. Penungguan mereka akan anggukan kepalaku. Selalu hanya itu saja. Namun harus ku akui mereka adalah orang-orang yang gigih, luarbiasa bahkan. Tak peduli waktu yang terus berjalan dan berlalu, pertanyaan dan permintaan yang sama selalu kembali hadir. Pertanyaan dan permintaan itu terus menyelusup dalam setiap waktuku, melemparku kembali ke peristiwa-peristiwa silam yang tercipta bersama mereka.

Saat senja ketika menonton kotak segiempat yang bisa bicara adalah saat biasanya mereka membicarakan hal itu. Dulu dan kini pun tetap sama, bedanya kini kedua kakak perempuanku itu sudah agak jarang bicara itu - hanya Ibu yang masih setia mengajukan pertanyaan- Kini bila mereka telah bicara soal teman hidupku, pandangan mereka akan bertumpu pada satu arah, mataku. Tatapan sarat permohonan –maaf- terbaca disana. Dengan suara yang lembut, lebih sering memelas, mereka memulai suasana percakapan-percakapan itu. Yang bagiku terasa bagai berada diantara desingan-desingan peluru, dimana semuanya berusaha bersarang di hatiku. Sambil mengunyah makanan ringan yang disediakan ibu, –kebiasaan ibu yang tak pernah tidak kusukai-, kata-kata itu berlarian kencang dari mulut mereka secara bergantian, terkadang tumpang tindih. Tak sekalipun kubantah mereka –aku membisu- dan kurasakan waktu berputar lambat sekali, seakan sengaja dihentikan khusus agar aku menikamati saat-saat senja begini.

Dulu aku tak seperti ini – membisu –. Dulu aku yang menggebu-gebu ingin menikah secepatnya, bahkan saat aku baru menamatkan bangku sekolah menengah. Namun kini tak ada lagi hasratku untuk hal itu. Mereka yang membuatku seperti ini. Mereka yang mendepak semua calon-calon yang kuajukan, hanya karena calon yang kuajukan sebaya dengan umur mereka – dua kakak perempuanku –

Mereka tak rela satu-satunya adik lelaki yang mereka miliki berasyik masyuk dengan wanita yang seumur mereka. Ketiga perempuan –ayah telah pergi - dalam rumahku inilah yang dulu membentuk karakterku, semi militer sekaligus berlimpah kasih sayang mereka terapkan. Lalu ketika dua kakak perempuanku itu menikah, tak ada lagi tempatku bermanja selain ibu. Namun aku merasa goyah, merasa sangat kehilangan. Lalu kutemukan pengganti kakak-kakakku itu pada sosok yang sebaya mereka. Lantas mereka tak setuju, tanpa memikirkan perasaanku. Tiga kali penolakan mereka terhadap calon-calon yang kuajukan, cukup membentuk diriku yang sekarang.

Saat aku menikmati pilihanku kini, mereka mulai merengek dan memintaku menikah. Bahkan dengan calon-calonku yang dulu pun tak apa-apa. Huh, mereka tak tahu bahwa Sifa, Meta ataupun Ciwi telah bahagia dengan orang lain, bahkan telah memiliki anak. Mengapa mereka melakukan hal ini padaku. Karena kasihan padaku yang terus membujang hingga lewat kepala tiga.


Kau telah tua, Ryan. Tak lama lagi ibu berada disekitarmu. Ibu akan segera menjemput maut. Siapa yang akan menemani mu nanti, kau akan kesepian, merasakan kesunyian sepeninggalku. Oh, Segeralah menikah. Kata-kata itu yang paling sering diucapkan ibu. Semacam ketakutan berbaur kecemasan, karena ragu bisa mewujudkan hal itu. Sejujurnya, aku muak mendengar ucapan yang itu-itu saja. Karena hampir menggoyahkan keasyikanku bermesra dengan kekasihku saat ini, kesendirian.

Dejavu ini selalu terulang, rasanya telah ratusan kali. Percakapan ini bisa sangat lama, terkadang menyebabkan kebekuan selama berhari-hari. Mereka tak jua bisa mengerti, mengapa aku menikmati kesendirianku. Cinta bagiku hanyalah sesuatu yang menyakitkan dan melelahkan. Aku merasakan derita oleh wanita untuk wanita. Kusadari itu, maka aku tak lagi peduli pada cinta. Biarkan kunikmati hidupku, menyulam jaring kesunyian.

- @Z -

Aku tahu kau kembali membisu. Baru ku ambil posisi, belum lagi genap air liurku merangkai kata, kau sudah membisu. Aku tak pernah menyangka kau bisa seperti ini. Dingin. Bagaimana bisa kau yang dulu begitu bersemangat ingin menikah, kini tak punya hasrat.

Aku menyadari perbuatan kami. aku dan anak perempuanku. Bukan tanpa sebab, kami menolak. Aku sadari, akulah yang menciptakan ketidaksukaan kakak-kakak perempuanmu terhadap pernikahan timpang umur. Aku yang menanamkan cerita-cerita pilu ke benak mereka. Aku begitu putus asa, begitu emosi, dan tak bisa terima keadaanku. Berawal dari kekerdilan suamiku, yang merasa belum dewasa, merasa terlalu muda bagiku. Hanya dengan alasan itu, Ia pergi meninggalkanku dan kalian yang masih hijau. Kusesali, maka kutanamkan pada mereka untuk tidak menikah dengan laki-laki yang lebih muda.

Aku mengerti penolakan mereka pada calon-calonmu dulu, bukan karena mereka tak suka. Hanya mereka ingin melindungi calon-calonmu itu agar tidak sepertiku. Dan juga melindungimu, agar tak melakukan perbuatan yang sama kerdilnya dengan yang dilakukan suamiku. Aku tahu kau tak bisa disamakan dengan dengan dia, yang pergi begitu saja. Aku tahu kau cukup dewasa kala itu, cukup bertanggung jawab. Aku sebenarnya sudah tahu bahwa penolakan kakak-kakakmu itu, akan memancing suasana hatimu. Akupun tahu bahwa hal itu tak baik dilakukan, namun egoku sebagai perempuan yang ditinggalkan menguasaiku. Aku tak mencegah penolakan-penolakan itu, bahkan aku ikut serta memanasi.

Dan benar dugaanku, kau jadi seperti ini. Memilih jalan kesunyian, menikmati kesendirian, tak bisa tergoyahkan –dasarnya memang kau keras kepala-. Tapi sanggupkah kau sendirian, benar-benar sendiri. Sekarang memang benar kau menikmati kesunyian itu, tapi masih ada aku di sekelilingmu, yang siap menampung keluh kesahmu. Tapi bila aku telah tiada, pada siapa kau akan melabuhkan kesahmu. Aku khawatir kau tak akan kuat, Ryan.

Aku tak pernah membenci dia, Ryan. Aku hanya tak suka perbuatannya yang tak bertanggung jawab. Aku hanya tak suka ia tak menepati ucapannya, tapi aku tak membencinya. Lamat-lamat bait hatiku masih mengharapkan dan merindukannya, walau ku tahu ia telah bersama yang lain. Aku sakit hati, tentu saja ya. Karena aku wanita, maka aku tak ingin kaumku yang lain ikut terluka. Maka ku dukung penolakan calonmu. Aku yakin kau tidak membenci wanita, anakku. Aku tahu itu dari wajah yang selalu kau tunjukkan, kala memandangku.

-@Z-

Aku menikmati kesunyianku, kesendirianku. Aku bahagia dengan semua ini, aku sudah biasa bercengkrama dengan sunyi, karena itulah tempat yang bisa menghubungkanku dengan kekasihku yang sesungguhnya. Aku puas dengan cinta-Nya, maka aku tak lagi membutuhkan wanita yang hanya akan mengganggu kemesraanku dengan-Nya. Aku tak membenci kaummu, bu. Hanya saja aku mulai bisa mengerti, bahwa aku sebagai laki-laki bisa menciptakan luka pada kaum mu yang tak bisa kunjung sembuh. Seperti dirimu. Maka aku ragu untuk menikah, benar-benar ragu, bu.

-@Z-

Oh Ryan, anakku. Segeralah menikah. Bukankah kekasihmu menganjurkan begitu, dalam firmannya. Mengapa kau sakiti dia dengan pilihanmu. Berpikirlah anakku, sebelum terlambat! Ingatlah bahwa kita akan ditanyai oleh-Nya kelak, tentang pilihan-pilihan yang kita ambil.

Maafkanlah aku, bila kisahku menjadi bayang-bayang hidupmu. Membuatmu berpikir untuk memilih jalan ini. Sungguh aku sudah memaafkannya, tak ada lagi luka di diriku, semua sudah hilang. Percayalah padaku, anakku. Jangan ragu untuk menerima permohonan kami. Jangan buat aku membenci diriku sendiri, Ryan. Bila kau masih saja seperti itu, aku akan terus menyalahkan diriku. Aku akan mengutuk diriku sendiri, anakku.

-@Z-

Sudahlah bu, tak perlu seperti itu. Tak usah menebak-nebak dan menyalahkan diri sendiri. Tak usah terlalu jauh menyimpulkan sesuatu. Jaring kesunyian ini adalah pilihan ku. Berulang kali aku mengatakan, aku menikmatinya. Aku tak merasakan kesedihan, aku juga tak merasakan perih ataupun duka. Aku bahagia, bu. Tak perlu khawatir padaku, sepeninggalmu bu. Aku bisa bercengkerama dengan kesunyianku yang sangat rajin ku sulam saat ini. Aku yakin jaring ini akan semakin lebar dan akan melindungiku, bu. Mendekap dan memberi kehangatan pada ku. Sudahlah, lebih baik Ibu beristirahat dan kita akhiri saja dejavu ini. Senja mulai beranjak pergi, bu.

-@Z-

080207, One year when my younger brother had gone

Tidak ada komentar: