Halaman

Rabu, 24 September 2008

Akhwat Father Complex

“ Lho kok, pake kaos kaki laki-laki, mbak?” tanyaku heran melihat kebiasaannya

“ ini punya papa ku. Kenapa emangnya? Ga ada yang ngelarang kan?” jawabnya cuek

“ iya sih, ga ada. Ya udah deh buruan, ntar kita telat” putusku akhirnya. Walaupun dalam hati, aku masih merasa aneh, kok ya doyan banget ama kaos kaki laki-laki. Selintas saja orang bisa menebak yang mana kaos kaki untuk laki-laki dan yang mana kaos kaki untuk perempuan. Padahal belum ada teori yang bisa menjelaskan perbedaan kaos kaki itu, paling banter kita melihat dari warna-warnanya yang kebanyakan gelap sedangkan bentuknya sama saja, kan. Aku melebarkan tarikan bibirku, mencoba tidak menimbulkan gigi-gigi gingsulku, nyengir tertahan. Geli, dengan kepedean akhwat disampingku.

“ Kanapa? Ada yang lucu? Kok nyengir sendiri? “ liriknya menyelidik

“ nggak” sahutku cepat, sambil berusaha mengembalikan bibirku pada keadaan normal.

Sebut saja namanya Titi, bukan nama sebenarnya, kami satu kost-an. Umurnya lebih muda setahun dariku, tapi kupanggil mbak karena ia kuliah lebih dulu dariku. Lagipula ia seniorku di organisasi pers kampus. Nah sejak aku masuk kedunia pers kampus itulah, aku mulai akrab dengannya. Selama ini aku tak pernah punya niat untuk berakrab-akrab dengan Titi, karena sepertinya ia punya dunia lain yang tidak bisa dimasuki orang lain. Dunianya sendiri. Tapi aku mulai bisa merambah dunianya, semakin dalam semakin aneh, misterius.

**@**

Sering aku menyambangi kamarnya, untuk berdiskusi. Kamar kami beda blok jadi agak berjauhan. Tak ada yang berbeda dari kamarnya, sama saja dengan

Kamarku bahkan juga kamar anak-anak lain. Tentu saja kami kan kost di tempat yang sama. Yang membedakan hanyalah letak perabotan yang disusun dan diatur sesuai selera masing-masing. Pintu keluar masuk kamar Titi terletak disebelah kanan bersebelahan dengan pintu kamar lain yang terletak disebelah kamarnya. Begitu pintu terbuka, disebelah kiri ada meja panjang berukuran 200x100 cm yang ujungnya hampir mendekati pintu keluar masuk tadi. Satu meter diatas meja tersebut ada lemari yang terpaku kokoh di dinding berukuran 150x150 cm, lemari itu terbagi dua, 100 cm berupa lemari berisi pakaian, 50 cm dijadikan tempat penyimpanan kosmetik, aksesoris, dan juga foto kedua orangtuanya. Dihadapan meja tadi ada sebuah dipan berukuran 200x100 cm dengan kasur busa beralaskan the pooh warna hijau. Diatas dipan tergeletak sebuah bantal kepala, sebuah guling kembung dan sebuah guling pipih tipis, yang konon kata Titi merupakan hadiah dari papanya saat ia masih kecil. Disamping dipan itu terletak rak bertingkat tiga yang penuh berisi makanan mulai dari mie, telur, permen, beraneka ragam snack, samapai ke detergen seperti rinso, attack, superpell, sabun mandi, dan juga pelicin dan pewangi pakaian macam kispray, rafika, dan molto. Barang-barang khas anak kost lengkap tersedia disana. Karena Titi membuka warka; warung kamar yang khusus melayani anak-anak kost-an yang semuanya akhwat dan malas keluar gerbang kost hanya untuk membeli barang remeh temeh seperti itu, maka warka Titi banyak diserbu warga kost kami. Konon beberapa tahun kemudian warka Titi adalah cikal bakal warka ku. Kembali lagi ke kamar Titi, setelah rak penuh kebutuhan hidup itu ada sebuah pintu yang tepat berhadapan dengan pintu keluar masuk yaitu pintun dapur. Sebenarnya tak pantas disebut dapur, karena hanya ruang kecil berbentuk kotak berukuran 100x150 yang penuh dijejali rak piring, kompor, dan termos air panas serta dirigen minyak tanah. Dapur itu bersebelahan dengan kamar mandi yang luasnya hanaya 200x150cm. Oh iya ada yang sedikit terlupa, dibelakang pintu keluar masuk tadi tergantung tempat sepatu dan kaos kaki yang terbuat dari plastik dilapis kain. Awalnya aku sempat heran karena sepatu-sepatu yang terpajang disana, semuanya model sepatu cowok. Tak perlu bertanya berulang-ulang pada Titi karena ia akan menjawab “ saya suka sepatu itu karena mirip punya papa” atau ketika kutanya alasannya bergelung dengan sarung seperti petugas ronda, jawabnya “ sarung ini punya papa, jika saya pakai saya merasa papa selalu menemani saya”. Nah lho! Jangan-jangan si Titi cowok? Sumpah, 100% aku bisa buktikan kalau dia cewek. Mojang sunda, euy. Mata bundar dengan bulu mata lentik, alis tebal hitam, hidung mancung, bibir merah tanpa gincu, kulit putih, wajah mulus tak berjerawat, gigi tanpa gingsul, rambut ikal, body cewek banget. Untungnya ditutupi dengan pakaian takwa, kalau tidak para cowok bisa nempel kayak perangko. Satu lagi tambahan, ia punya kumis tipis diatas bibirnya, tapi toh, tetap saja bukan bukti kalau dia cowok, kan? Konon cewek berkumis terlihat lebih cantik. Daripada mengatakannya mirip cowok atau macho, aku lebih suka mengatakan kalau Titi menderita Father complex, semua yang ia suka harus berbau papanya.

Biasanya kalau aku datang kekamarnya, Titi sedang asyik membaca dengan kacamata bertengger di matanya, terkadang tidak menyadari jika kacamata itu telah melorot kehidungnya. Titi suka sekali psikologi, seperti saat inipun ia sedang membaca buku psikologi remaja. Aku ingat ia pernah dua kali mencoba ikut UMPTN lagi, untuk masuk fakultas psikologi UI, tapi selalu gagal. Akhirnya ia harus rela mempelajari psikologi via buku saja. Bila ada yang datang kekamarnya untuk berkunjung ataupun membeli jajanan di warka, ia akan tersenyum, melepas kacamatanya, dan menanyakan ada perlu apa mencarinya. Formal, aneh memang tapi itulah Titi.

**@**

Pernah aku dan Titi berdiskusi tentang cinta, tentang kehidupan kami. Bagaimana bila akhwat dan ikhwan saling mencintai, sementara pacaran tak diperbolehkan. Bagaimana kalau akhwat melamar ikhwan lebih dulu. Atau bagaimana tanggapan orang tentang kebiasaan kami pulang pagi karena organisasi kami menuntut seperti itu, organisasi pers yang penuh dengan orang-orang amah tapi menyuarakan kebenaran. Sebenarnya itu terjadi kalau kami sedang deadline Koran, kami harus rela antri ngetik berita dan mendengar ceramah redaktur yang sedang marah, oleh karena itulah kami sering pulang pagi.

“peduli amat pendapat orang, yang tahu apa yang terjadi kan cuma kita. Lagipula kita tidak melakukan hal-hal yang aneh” jawabnya. Dan akupun saat itu mengiyakan. Jika hal itu dilontarkan saat ini, maka aku akan berpikir 100x untuk menyetujui pendapatnya.

Gimana pendapat kamu, kalau cewek nyetus duluan ke cowok?”

“Ehm, gimana ya. Kayaknya aneh deh, kalau aku sih ga berani” sahutku

Gini deh, misalkan akhwat jatuh cinta ke ikhwan, terus dia ga kuat nyimpan perasaannya dan nyetus ke ikhwan dan melamar ikhwan itu, gimana? Tanya Titi sambil memperagakan maksudnya dengan tangannya seakan ia sedang memindah-mindahkan barang.

“Ha…ha…lucu…aku ga kuat” aku terbahak geli sambil memegang perutku yang mendadak ikut geli

“Apanya yang lucu?”tatapnya serius, yang membuatku segera mengatupkan mulut. “Daripada perasaan itu dipendam dan jadi penyakit, bukankah lebih baik diungkapkan biar lega. Toh, siti khodijah sja melamar Nabi Muhammad lebih dulu. Iya kan?” ungkapnya berapi-api

glekk…aku menelan ludah “ ya ga papa sih, kalau akhwatnya berani dan tahan malu. Tapi, kalau ga diterima ama si ikhwan, bukannya akan lebih sakit, mbak? lagipula ga ada ikhwan yang sesempurna Nabi, kan? Bisa saja ikhwan itu akan mempermalukan kita? Atau kalau diterima, mosok harus pacaran? Apa kata dunia?” timpalku

“Bukan pacaran tapi langsung ajak menikah…”balas Titi

“ Gubraak…tuh akhwat berani amat. Salut kalau ada yang bisa begitu. Emangnya mbak berani nyetus duluan?” tanyaku

“Ya, tapi ditolak” jawabnya tenang, yang justru membuatku melongo abis. Dan terbongkarlah rahasia bahwa ia pernah nyetus dan melamar seorang ikhwan yang sifatnya mirip papanya, namun ditolak. Alasan si ikhwan menolaknya karena ikhwan itu telah berjanji akan menikahi gadis teman sekolahnya dulu, maka Titi harus rela dianggap sebagai adik saja. Huh,…bukankah sama saja si ikhwan tidak menjaga hatinya. Lagaknya ikhwan nyatanya sama saja seperti orang ammah. Kebetulan aku juga kenal dengan ikhwan itu, kukira dia ikhwan yang ngikhwan nyatanya dia ikhwan yang ngikhwin, maksudku setengah-setengah.

‘Tolong jangan ceritakan pada siapapun, jadikan pelajaran bagimu ya” pinta Titi yang kubalas dengan anggukan. Tentu saja, masa aku membongkar aib teman sendiri. Tapi nyatanya Titi tak Cuma bercerita padaku, hampir sebagian anak kost kami tahu mengenai ceritanya. Nah lho? Aneh kan, sifat si Father complex itu, susah ditebak.

**@**

Aku memang sempat bingung dengan sifat Titi. Kadang ia begitu terbuka, kadang menjadi tertutup berhari-hari, meledak-ledak tak terkira, ramah bukan main lalu tibab-tiba berubah angkuh pada saat yang bersamaan.

Akhirnya aku tahu juga penyebab semua itu. Penyebab sifat aneh Titi, penyebab ia selalu mencari perhatian dari orang laian, penyebab ia menjadi father complex. Semuanya karena Titi mengalami broken home. Titi bercerita bahwa papa yang sangat dikaguminya mempunyai istri lagi selain mamanya. Bahkan mempunyai anak juga. Seminggu dibagi untuk dua keluarga, 4 hari untuk mama titi, 3 hari untuk istri muda, atau justru sebaliknya. Tapi Titi tidak bisa membenci papanya, justru ia sangat merindukan papanya. Maka ketika ia kuliah di seberang laut, Lampung maksudku. Titi ‘mencuri’ kain sarung, kaos kaki, baju dan barang lain milik papanya, dengan begitu ia merasa papanya selalu ada didekatnya. Dan seperti biasanya Titi mengakhiri ceritanya dengan memintaku untuk tidak menceritakan hal itu pada orang lain. Dan masih sama seperti hari-hari yang lalu akupun berjanji tidak membongkarnya, aku harus menjaga kepercayaan Titi, tekadku. Tapi tak dinyanya ternyata orang lain sudah lebih dulu tahu dariku. Aku geregetan sekali dengan sikap Titi itu. Tapi lagi-lagi aku berusaha memahaminya, mungkin latar belakang broken home yang telah membuat sifat Titi seperti itu.

Persahabatan aku dan Titi mulai renggang, ketika ia dengan membabi buta membela seorang laki-laki yang nyata-nyata melakukan kesalahan. Laki-laki itu berada dalam satu organisasi dengan kami. Laki-laki yang dicintai Titi, Laki-laki yang mirip papanya, laki-laki yang tak lain adalah ikhwan yang dilamar Titi waktu itu. Aku memandang persoalan secara logika, namun Titi menggunakan seluruh perasaannya. Dalam logikaku sebaik apapun seseorang, kalau ia menggunakan uang organisasi dengan prosedur yang salah, maka orang itu tetaplah salah. Masalah itu menimbulkan ketegangan dalam organisasi pers kampus kami, ada yang pro, ada yang kontra. Malamnya Titi datang ke kamarku, ia bicara ketus menanyakan apa maksudku. Kujelaskan dengan tenang apa pendapatku. Tiba-tiba Titi bangkit dari dipanku, menghentak-hentakkan kaki, menudingkan jari telunjuknya padaku dan berkata: “ Kamu ga berhak menuduh orang sembarangan. Lagipula ia sudah mengganti uang itu, pikir pakai perasaan dong” bentaknya

Aku meradang, gigiku bergemeletuk. Aku bicara baik-baik tapi dibalas dengan bentakan. Aku tidak terima dituding seperti itu. Maka kulontarkan kata-kata yang lumayan kasar

“Eh, mbak pikir itu pakai logika jangan Cuma perasaan aja. Aku tidak menuduh dia jahat, aku hanya menyalahkan cara yang digunakannya. Agar menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak melakukan hal yang serupa”

“Alah, apapun alas an kamu, yang jelas kamu menuduhnya. Tapi, saya minta permasalahan ini tidak akan mempengaruhi keputusan kamu untuk memilihnya sebagai ketua baru, kalau sampai berkurang satu suara, itu berarti suara kamu. Ingat itu” Titi masih mengacungkan telunjuknya di depan wajahku

“Eh, mbak, itu urusan dan hak ku” semburku sambil menepis telunjuknya

‘Terserah, tapi kamu munafik, menjilat ludahmu sendiri kalau samapai kamu berubah pikiran” bentak Titi sambil membanting pintu kamarku.

Kuurut dadaku yang terasa sesak, kuhembuslan nafas berkali-kali. Huh, cinta benar-benar bisa membutakan mata, sampai-sampai logika tak lagi berjalan. Sejak saat itu aku dan titi tak bisa bersikap biasa, walaupun aku sudah mencoba menetralisir keadaan dengan meminta maaf padanya, tetap saja ada dinding tipis yang memisahkan kami. Dan yang lebih menyakitkan, ia mengumbar pertengkaran kami malam itu pada teman-teman di organisasi pers, dimana aku berada dalam posisi dipojokkan dan disalahkan. Semua memandang negatif padaku, tersebar kabar kalau akau menyukai ikhwan itu. Astagfirullah… Titi benar-benar keterlaluan. Walaupun akhirnya kabar itu reda karena penjelasanku. Sejak saat itu aku memutuskan hengkang dari organisasi pers kampus yang ammah dan mendalami organisasi kepenulisan bernafas islam.

Kumaafkan Titi yang datang menghiba dihadapanku, yang meminta maaf atas khilafnya. Kumaafkan, mengingat kondisi psikologisnya, namun aku tak pernah bisa percaya padanya lagi.

“Ah Titi mah biasa seperti itu. Namanya juga produk broken home” Komentar teman satu kost

“Titi kan memang sering kontrol ke psikiater, wajarlah kalau agak-agak sinting. Sayang sih padahal pakai jilbab, malu-maluin aja” komentar teman yang satu daerah dengannya.

Sungguh aku sedih mendengar komentar-komentar itu. Mungkin benar psikologinya terganggu tapi jangan salahkan jilbabnya. Toh, kalau bisa memilih, aku yakin Titi tak ingin menjadi produk broken home. Aku yakin Titi pun merasa tersiksa dengan keadaannya saat ini.

Perkenalanku dengan Titi membuatku mencoba memahami sifat-sifat dan sikap dari orang yang ada disekelilingku. Mencoba mengerti bahwa sifat dan sikap itu dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan. Membuatku bisa bersabar jika ada orang-orang yang seperti Titi lagi.

New Café, 300606

Tidak ada komentar: