Suatu siang di akhir februari 2009, seseorang menelpon saya setelah membaca cerpen saya yang berjudul ‘Senandung Lirih Setengah Dien’ yang saya pajang di castile saya ini. Ia protes, tak rela jika saya menggambarkan mekhanai lampung seperti didalam cerpen saya itu. Ia bilang semua mekhanai sumatra seperti itu, jadi bukan hanya mekhanai lampung saja. Saya tertawa mendengarnya. Saya biarkan ia mengutarakan semua pendapat dan kegundahannya, karena saya tahu ia adalah seorang muli lampung.
Ia bilang tak mungkin seorang muli bisa hidup dengan mekhanai yang tak disukainya. Jikapun seorang muli ‘dilarikan’ maka ia bisa saja berontak atau kabur atau membawanya pada hukum yang berlaku. Seorang mekhanai pun tak bisa seenaknya ‘melarikan’ muli jika tak ada persetujuan dari si muli.
Setelah ia tumpahkan semua protesnya, barulah saya angkat bicara. Saya bilang bahwa cerpen itu saya tulis berdasarkan fakta nyata yang banyak terjadi di kampung halaman saya (kotabumi-pen). Saya perlu waktu cukup lama untuk menuliskan cerpen tersebut, sampai saya bertanya langsung pada muli-muli lampung teman saya dan juga ibu mereka. Saya akui cerpen itu belum sempurna, masih banyak yang bolong disana – sini, tapi cukup menggambarkan kondisi nyata yang banyak terjadi dikampung saya.
Ketika seorang muli dilarikan (diambil paksa–pen), dan ia tak berhasil kabur hari itu juga, maka hukum pun sudah tak berlaku lagi. Mengapa? Karena keluarga yang muli nya dilarikan sudah tak berani lagi mengambil muli nya itu, pasalnya si muli sudah lewat semalam disembunyikan. Jika mereka melaporkan ke aparat polisi atau mengurusnya via hukum yang berlaku maka piil mereka akan direndahkan oleh adat. dengan kata lain, jika mereka berhasil membawa kembali muli nya dengan jalur hukum maka bersiaplah menerima berita miring tentang muli nya yang tak lagi suci –walaupun mungkin belum disentuh oleh si mekhanai- dan bersiaplah pula untuk dikucilkan oleh adat karena telah mencemarkan adat mereka.
Nah di adat lampung (suku lampung adat pepadun) piil adalah harga diri yang harus dijunjung tinggi, harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Maka tak ada yang akan melaporkan peristiwa muli yang ‘dilarikan’ jika telah lewat semalam, kalaupun ada tentunya mereka adalah keluarga modern yang tak lagi menjunjung adat lama.
Mendengar penjelasan saya, muli yang menelpon saya tetap tak bisa percaya jika semua itu nyata. ya, saya katakan itu yang terjadi di kampung halaman saya. Jika tak percaya cobalah menetap disana dan rasakan betapa was–was nya orang tua suku lampung yang punya anak muli yang telah berpenghasilan tetap atau punya kerja yang lumayan. Karena biasanya muli yang seperti ini akan menjadi incaran si mekhanai. Tapi tentu saja tak semua mekhanai lampung seperti itu, ada juga kok yang menggunakan cara yang lebih baik untuk meminta seorang muli menjadi pasangan hidupnya, dengan cara melamar langsung atau ‘larian’ (sebambangan – pen).
Ya, akhirnya pembicaraan siang itu diakhiri dengan penerimaan si muli pada penjelasan saya, bahwa cerpen itu dibuat berdasarkan fakta-fakta nyata dan bukan asal tulis. Senang deh ada yang protes gitu, jadi bisa mengeluarkan suatu hal yang belum bisa terceritakan seluruhnya di cerpen, apalagi muli ini berjanji akan terus membaca tulisan yang dipajang di Castile ini dan akan mengomentari. Hehe…Nantikan tulisan saya yang lain: ‘Larian Vs Dilarikan’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar