Mataku tak lepas memandang ke arah Nur, bukan karena ia jadi
pengantin. Bukan! Bukan pula karena kini
ia terlihat lebih cantik – karena rias pengantin yang berlebihan- bukan itu!
Yang kulihat adalah beberapa untaian melati yang menjulur keluar dari
sanggulannya. Melati konon selalu
dipakai ketika seorang gadis menikah –tentunya adat jawa- entahlah aku tak
sepenuhnya mengerti mengapa seorang pengantin harus memakai melati bukan bunga
lainnya seperti mawar, kenanga atau cempaka.
Kata orang melati itu sakral, mungkin benar juga karena saat ini, dari
tempat dudukku aku bisa mencium wangi melati yang dipakai oleh Nur padahal ia
berada hampir 500 meter dari ku. Bulu dilenganku
meremang, seolah aku sedang menyaksikan pernikahan Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan apalagi
ditambah dengan iringan gamelan dan lagu jawa yang tidak ku mengerti artinya.
Namun kedatanganku ke pesta pernikahan ini, punya maksud yang lebih
penting. Bukan sekedar memenuhi undangan
Nur, temanku. Tapi lebih kepada memenuhi
permintaan ibu -mencuri melati
pengantin- Itulah sebabnya aku memandang untaian melati Nur dari tadi. Ibu bilang jika aku berhasil mencuri melati
pengantin tanpa ketahuan oleh pengantin, maka aku akan segera menyusul
pengantin itu untuk menikah pula.
Awalnya aku hanya tertawa mendengar perkataan ibu, bagaimana mungkin di
zaman yang sudah sangat modern ini masih ada kepercayaan atau mitos seperti
itu. Alangkah mudahnya menikah kalau
begitu, tinggal mencuri bunga lalu datanglah jodoh. Bagaimana jika setelah mencuri sekali,
kemudian mencuri lagi berkali-kali, apakah akan
menikah berkali-kali juga? Ah pikiran yang terlalu kolot dan menggelikan. Namun begitu melihat mata ibu yang mendelik
karena melihatku tertawa, lalu mengatakan aku akan kualat jika tak
percaya, aku langsung terdiam mengatupkan mulutku. Hal itu kulakukan bukan karena aku percaya
mitos ibu, tapi lebih pada menjaga agar mulut ibu tak mengeluarkan kata-kata
kutukan yang bisa benar-benar terjadi jika didengar oleh gusti Allah.
Sering kukatakan pada ibu bahwa jodoh itu tak bergantung pada sebuah
melati yang di curi dari pengantin, melainkan pada ketentuan Allah. Namun ibu membantah dengan mengatakan bahwa
jodoh itu harus diusahakan dan dicari, jika hanya menunggu maka tak akan datang
jodoh itu. Aku manyun, ibu benar
jodoh memang harus diusahakan, tapi tentunya bukan dengan cara mencuri melati
pengantin. Ah percuma saja berdebat dengan
ibu, beliau akan mati-matian mempertahankan mitos itu. Dan beliaupun sudah memberi ultimatum, aku
harus mendapatkan melati di pernikahan Nur, jika tidak maka aku tak akan
menikah. Astagfirullah…
Karena itulah, aku kini memikirkan strategi terbaik untuk mencuri
melati tanpa ketahuan oleh Nur. Kugigit
bibir bawahku keras-keras, ingin memastikan bahwa aku hanya bermimpi untuk
melakukan hal ini. Namun aku mengaduh
sakit, ternyata ini bukan mimpi. Tapi
kutekankan dalam hatiku bahwa aku melakukan ini, bukan karena takut ucapan ibu
yang menyatakan aku tak akan menikah jika tak mencuri melati pengantin, tapi
hanya agar mitos itu bisa dipatahkan.
Jika nanti aku sudah berhasil mendapatkan melati itu, aku ingin melihat
apa reaksi ibu jika aku belum juga bisa menikah tahun ini. Aku ingin betul mitos melati pengantin ini
tidak lagi dipercaya oleh para ibu yang memiliki anak perempuan. Mengurangi akal sehat saja dan membuat mereka
tak percaya pada ketentuan sang Maha Kuasa.
Hidangan di piringku tak tersentuh dari tadi, karena pikiranku penuh
dengan berbagai hal mengenai mitos melati pengantin, lagipula aku jadi
kehilangan selera utuk makan apalagi dengan keadaan pesta yang terasa mistik ini. Akhirnya aku memutuskan untuk segera beranjak
menyalami pengantin. Semakin dekat ke koade
pengantin, aku semakin tak mengerti rasa hatiku sendiri. Aku mengucapkan selamat pada Nur, mencium
pipinya dan memeluknya. Aku terhenyak
ketika tanganku ingin memetik melati,
ternyata untaian melati itu tak lagi utuh sudah banyak dipetik
orang. Aku tak jadi mencuri melati,
kasihan pada Nur, riasan melatinya bisa habis.
Namun begitu aku baru akan pergi, Nur menarik tanganku dan menyelipkan
melati ditanganku. Dan aku hanya bisa bengong
melihat senyumnya.
Sebelum sampai dihalaman rumah, ibu berlari menjemputku dan langsung
menanyakan apakah aku mendapatkan melati pengantin. Kuanggukan saja kepalaku, dan ibu melompat
gembira sambil berkata “benar kan melati itu membawa keberuntungan, baru saja
teman ayahmu melamarmu untuk dijadikan istri putranya, Tomy. Kau ingat Tomy kan, nduk? Teman kecilmu dulu
yang pindah karena ayahnya pindah tugas?
Kau bilang dulu suka padanya, maka kami langsung menerima lamarannya. Kau akan segera menikah Nduk. Kau tidak boleh menolak ya, nanti kualat pada
berkat melati pengantin”
Aku hanya bisa membalas pelukan ibu yang bicara sambil menangis. Aku
buka genggaman tanganku, benarkah karena melati ini? Melati pemberian Nur! Ya,
aku baru ingat melati ini pemberian Nur bukan hasil curianku. Bukankah mitos itu mengatakan melatinya harus
hasil curian diam-diam dari pengantin?
Aku tersenyum menatap langit. Aku tahu Dia lah yang menentukan semua ini,
bukan karena sebuah melati pengantin, dan Ibu harus tahu hal ini.