Rabu, 22 April 2009
BIRU, COKLAT dan UNGU
"Diloyang transparan. Pembuatmu hebat, siapa gerangan? agar-agar ciptaan koki." Hehe…
Saya tidak bermaksud untuk membuat kue agar disini, melainkan ingin membicarakan tentang warna. Biru, coklat dan ungu adalah tiga warna favorit saya. Dari semua barang yang saya punya, ketiga warna tersebut pasti ada. Tapi anehnya, ketika saya merencanakan membeli barang, pasti warna yang saya pilih berbeda dengan yang saya rencanakan. Contohnya begini, pada suatu hari saya berencana membeli baju, rok dan jilbab warna biru, eh begitu di ‘butik kita’ (bambu kuning-red) saya akhirnya membeli warna coklat, padahal saya sudah berkeliling sampai pegal. Lain lagi ketika saya merencanakan membeli barang dengan warna ungu, akhirnya saya malah membeli barang berwarna biru. Lalu ketika berencana membeli barang dengan desain coklat, lagi-lagi mood saya melenceng ke warna ungu.
Jadi kalau saya perhatikan, baju, jilbab, sepatu atau sandal saya yang ga bisa dibilang koleksi –sangking dikitnya- rata-rata berwarna coklat. Sementara aksesoris tempat indekost atau aksesoris lainnya –mulai dari karpet beludru, gorden, handuk, kotak pensil, hanger, lemari, sisir, tali HP, tempat sabun, dan aksesoris lainnya- berwarna biru. Sedangkan barang-barang seperti sabun, shampoo, sikat gigi, kaca, spectra dinding, rata-rata berwarna ungu.
Saya sih suka biru walau orang bilang warnanya konservatif, tapi menurut saya kesannya bisa dipercaya, nyaman, rapi dan bisa diandalkan. Sedangkan coklat, seperti terkesan manis dan nyaman –halah gayamu, cik- sementara untuk ungu banyak yang bilang itu warna janda. Idih bagi saya sih ga menjamin, kalau melambangkan ketegaran sih oke-oke aja selain itu kesannya agak misteriuslah, secara warna ungu kan jarang dijumpai dilapisan bumi atau di warna-warna bunga. Oh ya alasan lainnya karena ungu warna bendera fakultas saya.
Nah, gara-gara saya suka biru. Ada teman saya yang sampai menjadikan saya sebagai objek lelucon. Ia mengirim sms ke beberapa teman tentang sebuah blog yang warnanya biru dan dikelola oleh salah seorang teman saya yang lainnya. Ia berargumen mengatakan alasan blog tersebut dibuat biru mungkinkah karena saya? walau selanjutnya ada warna lain yang dijadikan dalih. Saya hanya tertawa ketika mengetahui sms tsb dari seseorang -saya yang dijadikan objek, kok saya ga dikirimi sms ya- ck…ck… sehebat itukah pesona biru! Sedikit kecewa dengan teman saya itu, padahal saya tidak pernah mempermasalahkan warna favoritnya –pink- bagi saya pink adalah warna romantis, yang melambangkan cinta, lemah-lembut dan feminim banget, sementara saya ga gitu, makanya ga cocok dengan pink.
Tapi kalau pink jatuh di sakura, saya sih suka aja. Pada dasarnya saya suka sakura, jadi apapun warnanya saya tetap suka. Oh iya satu lagi, untuk hal-hal tertentu saya suka warna hitam, karena kesannya elegan, klasik dan cocok dengan apapun, jadi saya ga perlu bingung cari padanannya. Tapi diatas itu semua saya paling suka warna biru.
Warna adalah hak individu, siapapun boleh memilih sebuah atau lebih warna sebagai favoritnya. Tapi jangan pernah jadikan pilihan orang lain sebagai ejekan atau lelucon semi ejekan. Bukankah kita bukan bangsa Amrik yang membedakan kulit putih dan kulit hitam? Bukankah walau berbeda-beda kita tetap satu jua? Salam tuk pink’s lover, saat sms itu disebar apakah gerangan pemicunya?
Rabu, 15 April 2009
Protes Pada Cerpen 'SLSD' Saya
Suatu siang di akhir februari 2009, seseorang menelpon saya setelah membaca cerpen saya yang berjudul ‘Senandung Lirih Setengah Dien’ yang saya pajang di castile saya ini. Ia protes, tak rela jika saya menggambarkan mekhanai lampung seperti didalam cerpen saya itu. Ia bilang semua mekhanai sumatra seperti itu, jadi bukan hanya mekhanai lampung saja. Saya tertawa mendengarnya. Saya biarkan ia mengutarakan semua pendapat dan kegundahannya, karena saya tahu ia adalah seorang muli lampung.
Ia bilang tak mungkin seorang muli bisa hidup dengan mekhanai yang tak disukainya. Jikapun seorang muli ‘dilarikan’ maka ia bisa saja berontak atau kabur atau membawanya pada hukum yang berlaku. Seorang mekhanai pun tak bisa seenaknya ‘melarikan’ muli jika tak ada persetujuan dari si muli.
Setelah ia tumpahkan semua protesnya, barulah saya angkat bicara. Saya bilang bahwa cerpen itu saya tulis berdasarkan fakta nyata yang banyak terjadi di kampung halaman saya (kotabumi-pen). Saya perlu waktu cukup lama untuk menuliskan cerpen tersebut, sampai saya bertanya langsung pada muli-muli lampung teman saya dan juga ibu mereka. Saya akui cerpen itu belum sempurna, masih banyak yang bolong disana – sini, tapi cukup menggambarkan kondisi nyata yang banyak terjadi dikampung saya.
Ketika seorang muli dilarikan (diambil paksa–pen), dan ia tak berhasil kabur hari itu juga, maka hukum pun sudah tak berlaku lagi. Mengapa? Karena keluarga yang muli nya dilarikan sudah tak berani lagi mengambil muli nya itu, pasalnya si muli sudah lewat semalam disembunyikan. Jika mereka melaporkan ke aparat polisi atau mengurusnya via hukum yang berlaku maka piil mereka akan direndahkan oleh adat. dengan kata lain, jika mereka berhasil membawa kembali muli nya dengan jalur hukum maka bersiaplah menerima berita miring tentang muli nya yang tak lagi suci –walaupun mungkin belum disentuh oleh si mekhanai- dan bersiaplah pula untuk dikucilkan oleh adat karena telah mencemarkan adat mereka.
Nah di adat lampung (suku lampung adat pepadun) piil adalah harga diri yang harus dijunjung tinggi, harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Maka tak ada yang akan melaporkan peristiwa muli yang ‘dilarikan’ jika telah lewat semalam, kalaupun ada tentunya mereka adalah keluarga modern yang tak lagi menjunjung adat lama.
Mendengar penjelasan saya, muli yang menelpon saya tetap tak bisa percaya jika semua itu nyata. ya, saya katakan itu yang terjadi di kampung halaman saya. Jika tak percaya cobalah menetap disana dan rasakan betapa was–was nya orang tua suku lampung yang punya anak muli yang telah berpenghasilan tetap atau punya kerja yang lumayan. Karena biasanya muli yang seperti ini akan menjadi incaran si mekhanai. Tapi tentu saja tak semua mekhanai lampung seperti itu, ada juga kok yang menggunakan cara yang lebih baik untuk meminta seorang muli menjadi pasangan hidupnya, dengan cara melamar langsung atau ‘larian’ (sebambangan – pen).
Ya, akhirnya pembicaraan siang itu diakhiri dengan penerimaan si muli pada penjelasan saya, bahwa cerpen itu dibuat berdasarkan fakta-fakta nyata dan bukan asal tulis. Senang deh ada yang protes gitu, jadi bisa mengeluarkan suatu hal yang belum bisa terceritakan seluruhnya di cerpen, apalagi muli ini berjanji akan terus membaca tulisan yang dipajang di Castile ini dan akan mengomentari. Hehe…Nantikan tulisan saya yang lain: ‘Larian Vs Dilarikan’
Ia bilang tak mungkin seorang muli bisa hidup dengan mekhanai yang tak disukainya. Jikapun seorang muli ‘dilarikan’ maka ia bisa saja berontak atau kabur atau membawanya pada hukum yang berlaku. Seorang mekhanai pun tak bisa seenaknya ‘melarikan’ muli jika tak ada persetujuan dari si muli.
Setelah ia tumpahkan semua protesnya, barulah saya angkat bicara. Saya bilang bahwa cerpen itu saya tulis berdasarkan fakta nyata yang banyak terjadi di kampung halaman saya (kotabumi-pen). Saya perlu waktu cukup lama untuk menuliskan cerpen tersebut, sampai saya bertanya langsung pada muli-muli lampung teman saya dan juga ibu mereka. Saya akui cerpen itu belum sempurna, masih banyak yang bolong disana – sini, tapi cukup menggambarkan kondisi nyata yang banyak terjadi dikampung saya.
Ketika seorang muli dilarikan (diambil paksa–pen), dan ia tak berhasil kabur hari itu juga, maka hukum pun sudah tak berlaku lagi. Mengapa? Karena keluarga yang muli nya dilarikan sudah tak berani lagi mengambil muli nya itu, pasalnya si muli sudah lewat semalam disembunyikan. Jika mereka melaporkan ke aparat polisi atau mengurusnya via hukum yang berlaku maka piil mereka akan direndahkan oleh adat. dengan kata lain, jika mereka berhasil membawa kembali muli nya dengan jalur hukum maka bersiaplah menerima berita miring tentang muli nya yang tak lagi suci –walaupun mungkin belum disentuh oleh si mekhanai- dan bersiaplah pula untuk dikucilkan oleh adat karena telah mencemarkan adat mereka.
Nah di adat lampung (suku lampung adat pepadun) piil adalah harga diri yang harus dijunjung tinggi, harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Maka tak ada yang akan melaporkan peristiwa muli yang ‘dilarikan’ jika telah lewat semalam, kalaupun ada tentunya mereka adalah keluarga modern yang tak lagi menjunjung adat lama.
Mendengar penjelasan saya, muli yang menelpon saya tetap tak bisa percaya jika semua itu nyata. ya, saya katakan itu yang terjadi di kampung halaman saya. Jika tak percaya cobalah menetap disana dan rasakan betapa was–was nya orang tua suku lampung yang punya anak muli yang telah berpenghasilan tetap atau punya kerja yang lumayan. Karena biasanya muli yang seperti ini akan menjadi incaran si mekhanai. Tapi tentu saja tak semua mekhanai lampung seperti itu, ada juga kok yang menggunakan cara yang lebih baik untuk meminta seorang muli menjadi pasangan hidupnya, dengan cara melamar langsung atau ‘larian’ (sebambangan – pen).
Ya, akhirnya pembicaraan siang itu diakhiri dengan penerimaan si muli pada penjelasan saya, bahwa cerpen itu dibuat berdasarkan fakta-fakta nyata dan bukan asal tulis. Senang deh ada yang protes gitu, jadi bisa mengeluarkan suatu hal yang belum bisa terceritakan seluruhnya di cerpen, apalagi muli ini berjanji akan terus membaca tulisan yang dipajang di Castile ini dan akan mengomentari. Hehe…Nantikan tulisan saya yang lain: ‘Larian Vs Dilarikan’
Langganan:
Postingan (Atom)