Halaman

Selasa, 18 September 2012

MELATI PENGANTIN




Mataku tak lepas memandang ke arah Nur, bukan karena ia jadi pengantin.  Bukan! Bukan pula karena kini ia terlihat lebih cantik – karena rias pengantin yang berlebihan- bukan itu! Yang kulihat adalah beberapa untaian melati yang menjulur keluar dari sanggulannya.  Melati konon selalu dipakai ketika seorang gadis menikah –tentunya adat jawa- entahlah aku tak sepenuhnya mengerti mengapa seorang pengantin harus memakai melati bukan bunga lainnya seperti mawar, kenanga atau cempaka.  Kata orang melati itu sakral, mungkin benar juga karena saat ini, dari tempat dudukku aku bisa mencium wangi melati yang dipakai oleh Nur padahal ia berada hampir 500 meter dari ku.  Bulu dilenganku meremang, seolah aku sedang menyaksikan pernikahan  Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan apalagi ditambah dengan iringan gamelan dan lagu jawa yang tidak ku mengerti artinya.

Namun kedatanganku ke pesta pernikahan ini, punya maksud yang lebih penting.  Bukan sekedar memenuhi undangan Nur, temanku.  Tapi lebih kepada memenuhi permintaan ibu  -mencuri melati pengantin- Itulah sebabnya aku memandang untaian melati Nur dari tadi.  Ibu bilang jika aku berhasil mencuri melati pengantin tanpa ketahuan oleh pengantin, maka aku akan segera menyusul pengantin itu untuk menikah pula.  Awalnya aku hanya tertawa mendengar perkataan ibu, bagaimana mungkin di zaman yang sudah sangat modern ini masih ada kepercayaan atau mitos seperti itu.  Alangkah mudahnya menikah kalau begitu, tinggal mencuri bunga lalu datanglah jodoh.  Bagaimana jika setelah mencuri sekali, kemudian mencuri lagi berkali-kali, apakah akan  menikah berkali-kali juga? Ah pikiran yang terlalu kolot dan menggelikan.  Namun begitu melihat mata ibu yang mendelik karena melihatku tertawa, lalu mengatakan aku akan kualat jika tak percaya, aku langsung terdiam mengatupkan mulutku.  Hal itu kulakukan bukan karena aku percaya mitos ibu, tapi lebih pada menjaga agar mulut ibu tak mengeluarkan kata-kata kutukan yang bisa benar-benar terjadi jika didengar oleh gusti Allah.

Sering kukatakan pada ibu bahwa jodoh itu tak bergantung pada sebuah melati yang di curi dari pengantin, melainkan pada ketentuan Allah.  Namun ibu membantah dengan mengatakan bahwa jodoh itu harus diusahakan dan dicari, jika hanya menunggu maka tak akan datang jodoh itu.  Aku manyun, ibu benar jodoh memang harus diusahakan, tapi tentunya bukan dengan cara mencuri melati pengantin.  Ah percuma saja berdebat dengan ibu, beliau akan mati-matian mempertahankan mitos itu.  Dan beliaupun sudah memberi ultimatum, aku harus mendapatkan melati di pernikahan Nur, jika tidak maka aku tak akan menikah.  Astagfirullah…
Karena itulah, aku kini memikirkan strategi terbaik untuk mencuri melati tanpa ketahuan oleh Nur.  Kugigit bibir bawahku keras-keras, ingin memastikan bahwa aku hanya bermimpi untuk melakukan hal ini.  Namun aku mengaduh sakit, ternyata ini bukan mimpi.  Tapi kutekankan dalam hatiku bahwa aku melakukan ini, bukan karena takut ucapan ibu yang menyatakan aku tak akan menikah jika tak mencuri melati pengantin, tapi hanya agar mitos itu bisa dipatahkan.  Jika nanti aku sudah berhasil mendapatkan melati itu, aku ingin melihat apa reaksi ibu jika aku belum juga bisa menikah tahun ini.  Aku ingin betul mitos melati pengantin ini tidak lagi dipercaya oleh para ibu yang memiliki anak perempuan.  Mengurangi akal sehat saja dan membuat mereka tak percaya pada ketentuan sang Maha Kuasa.

Hidangan di piringku tak tersentuh dari tadi, karena pikiranku penuh dengan berbagai hal mengenai mitos melati pengantin, lagipula aku jadi kehilangan selera utuk makan apalagi dengan keadaan pesta yang terasa mistik ini.  Akhirnya aku memutuskan untuk segera beranjak menyalami pengantin.  Semakin dekat ke koade pengantin, aku semakin tak mengerti rasa hatiku sendiri.  Aku mengucapkan selamat pada Nur, mencium pipinya dan memeluknya.  Aku terhenyak ketika tanganku ingin memetik melati,  ternyata untaian melati itu tak lagi utuh sudah banyak dipetik orang.  Aku tak jadi mencuri melati, kasihan pada Nur, riasan melatinya bisa habis.  Namun begitu aku baru akan pergi, Nur menarik tanganku dan menyelipkan melati ditanganku.  Dan aku hanya bisa bengong melihat senyumnya.

Sebelum sampai dihalaman rumah, ibu berlari menjemputku dan langsung menanyakan apakah aku mendapatkan melati pengantin.  Kuanggukan saja kepalaku, dan ibu melompat gembira sambil berkata “benar kan melati itu membawa keberuntungan, baru saja teman ayahmu melamarmu untuk dijadikan istri putranya, Tomy.  Kau ingat Tomy kan, nduk? Teman kecilmu dulu yang pindah karena ayahnya pindah tugas?  Kau bilang dulu suka padanya, maka kami langsung menerima lamarannya.  Kau akan segera menikah Nduk.  Kau tidak boleh menolak ya, nanti kualat pada berkat melati pengantin” 

Aku hanya bisa membalas pelukan ibu yang bicara sambil menangis. Aku buka genggaman tanganku, benarkah karena melati ini? Melati pemberian Nur! Ya, aku baru ingat melati ini pemberian Nur bukan hasil curianku.  Bukankah mitos itu mengatakan melatinya harus hasil curian diam-diam dari pengantin?  Aku tersenyum menatap langit. Aku tahu Dia lah yang menentukan semua ini, bukan karena sebuah melati pengantin, dan Ibu harus tahu hal ini.


Senin, 17 September 2012

JUBAH KUNANG-KUNANG BERMANDI CAHAYA



Kawan, mari berkumpul dengarkan ceritaku
Suatu hari seekor kunang menemukan taman
Bangunannya rapuh, dan tertutup ilalang rimba
Aksara tercecer dimana-mana. . .

Bersama kunang-kunang tua, mencabuti ilalang
Meletakkan kembali pondasi taman, hingga berdiri tegak
Merangkai aksara, meniupkannya ke seluruh penjuru mata angin
Memancing kunang-kunang lain meramaikan lembah

Taman kunang-kunang di Lembah Aksara bergema
Cahaya kehidupan mengalir deras, Aksara berloncatan
Kunang-kunang mengejar dan menangkap
Kunang-kunang memekik riang

Tamu-tamu tak dikenalpun datang
Menjelma kunang-kunang
Bermetamorfosis jadi kunang-kunang!
Ingin dapat sepercik cahaya terang

Sayang cahaya tak mudah digapai, terangnya silau
Kunang-kunang instan jatuh berguguran
Taman kunang-kunang bertabur bangkai
Metamorfosis gagal

Slalu puluhan kunang instan jatuh membentur pondasi taman
Bangunan beranjak rapuh kembali
Kunang –kunang yang tersisa smakin lelah,
Smakin renta, Smakin hilang daya, Smakin terpejam

Sementara silau cahaya masih membubung di puncak lembah
Menarik ratusan tamu yang ingin menjelma kunang-kunang
Akankah mereka dibiarkan bermetamorfosis instan?
Berguguran sebelum mencapai puncak cahaya
Kembali meluluhlantakkan pondasi taman yang tlah rapuh
Akankah kembali bermetamorfosis gagal?

Wahai kunang-kunang lembah aksara
Bangunlah dari tidurmu, arahkan metamorphosis tamumu
Jangan skedar bermandi percikan cahaya
Ajari mendaki, klak kau jumpai jubah cahaya
Yang tak kan lekang darimu


Bandar Lampung, Januari 2011



JARING








Lelaba menciptanya di sudut ruang
Menghubungkan kemarau senja
Pada dinding kematian
Yang menggeliat bersama kepergian
Dengan tawa serupa lonceng

200709