Halaman

Rabu, 24 September 2008

MY 10 (STRANGE) NAME

wuaaaahhhh iseng nih b4 teaching...

1.Name:- Aciko Zhafira

2. YOUR GANGSTA NAME:
(first four letters of your name, plus zzle)
- Acikzzle (kaya nama tokoh kartun FlintStone ga sih!?)

3 . YOUR DETECTIVE NAME:
(fav color and fav animal)
- blue bird...(taksi mana pula ini??)

4 . YOUR SOAP OPERA NAME:
(middle name, and current street)
Zhafira Avenue

5 . YOUR STAR WARS NAME:
(the first 3 letters of your last name, first 2 letters of your first name, first 3 letters of mom's name)
zha-ac-mas => ZHAACMAZ...(hoa...)

6. SUPERHERO NAME:
(2nd favorite color, favorite drink)
Chocolate Mocca

7. IRAQI NAME:
(2nd letter of your first name, 3rd letter of your last name, any letter of your middle name, 2nd letter of your moms maiden name, 3rd letter of your dads middle name, 1st letter of a
siblings first name, last letter of your moms middle name)
C-I-H-A-M-A-S => CIHAMAS...(malah kaya SUNDA tau..)

8. MONUMENT NAME:
(fathers or mothers middle name)
THEY HAVE NO MIDDLE NAME...just first.

9 . GOTH NAME:
(3rd favorite color, and the name of one your pets)
PURPLE POMPOME

10. SCREEN NAME:
(any of your tv's brand and your mom's middle name/ your mom’s maiden name)
Toshma!


BEHIND THE SCENE MASYARAKAT MADANI VERSI QU

Tulisan ini qu buat, terinspirasi percakapan menjelang siang dengan seorang penulis dan percakapan menjelang sore dengan seorang mama yang anaknya akan menikah dengan orang amrik! Kalo nggak salah, percakapan itu terjadi awal mei tahun lalu. Karena ada hal-hal yang masih mengganjal di my pensieve, so daripada di pendem mending di buat jadi tulisan khan?J siapa tau dari tulisan ini bisa menginspirasi diriku atau teman-teman untuk membuat tulisan lain. Atau justru teman-teman juga ingin menambahi? J

Qu mulai dari mana ya? Oia, dari percakapan tentang masyarakat madani. Nih gara2 temanqu yang penulis itu sedang proses bwt buku ttg masyarakat madani dengan berkiblat ke barat. Menurutqu masyarakat madani tuh hanya bisa tercipta dengan menegakkan islam! Untuk mewujudkan masyarakat madani ini, aqu tak akan berkiblat ke negara-negara maju macam Amerika. walaupun si Amrik menggembor-gemborkan mereka bisa menciptakan masyarakat madani. Aku tetap nggak percaya! Why? Ya iyalah, lha wong politik mereka aja kotor, gimana masyarakatnya bisa madani? Masyarakat madani harus tercipta selaras dengan politik… so kalo politiknya bersih ya sudah pasti masyrakatnya madani. Kalo politiknya kotor, maka yang terjadi sebaliknya. Kedua hal ini nggak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka kalo mau cari kiblat, aqu merujuk ke 14 abad silam aja, saat kejayaan islam berkembang. Lha kok ke sana? Ya gpp khan? Orang barat aja merujuk ke masa itu, masak kita merujuk ke mereka?

Ada buktinya lho, bukan aqu ngomong doank. Martine Kramer, direktur Moshe Dayan Center For Middle Eastern and African Studies Universitas Tel Aviv, israel sampe bilang bahwa pada tahun 1000 M orang nggak bisa ngaku terpelajar kalo ngga bisa bahasa arab ( coz saat itu bahasa arab adalah bahasa sains dan filsafat), orang ngga bisa ngaku udah pergi ke negara-negara besar kalo belum mendatangi Bagdad (irak), cordoba (spanyol), kairo (mesir), Bukhara (asia tengah). Truz dia juga bilang kalo saja hadiah Nobel tuh udah ada tahun 1000 M pasti semuanya jatuh ke tangan orang-orang islam. Kita ambil contohnya Al Biruni (973 – 1050M) yang di sebut multi ahli coz bidang keahliannya banyak banget, yaitu: astronomi, matematika, mineral, tumbuhan, bahasa bahkan sejarah. (Kalo nggak salah ingat, kalimat ini dari artikel yang diterbitkan oleh international movement for a just world berjudul Martine Kraemer, “Islam’s Sober Millenium.”)

Tuh khan orang israel (yahudi) aja mpe bilang gitu, itu artinya islam tuh maju banget, diakui gitu lho.

Atau ada lagi seorang komunis perancis bernama Roger Geraudy, yang mengatakan bahwa pada tahun 1000 M ada anekdot di kalangan penduduk perancis selatan tentang hal-hal yang sangat mereka sesali yaitu mereka menyesali terhentinya laju pasukan Arab dalam pertempuran Tours di perancis selatan. Coz andai saja kaum muslimin berhasil menguasai mereka maka kemajuan demi kemajuan akan lebih cepat mereka dapatkan. Nah lho…. Akhirnya sangking terpesonanya si Roger dengan peradaban islam, dia jadi masuk islam lho. Nah orang-orang barat saja mengakui peradaban islam, so kenapa kita harus berkiblat ke negara barat?

Kita kembali lagi ke Masyarakat Madani yach….

Masyarakat Madani akan terwujud bila syariat islam tegak di muka bumi. Sayangnya ini ngga mudah khan? Why? Coz kita (yang notabene orang islam) justru takut bila syariat islam benar-benar tegak! Mengapa bisa terjadi?

Hal itu menandakan bahwa Ghozwul fikri (invansi pemikiran) yang dilancarkan Barat telah berhasil menggerogoti pemikiran umat islam. Kapan sih sebenarnya Ghozwul fikri di kumandangkan? Jawabnya, pada akhir perang salib VII yang dipimpin Louis IX (yang saat itu di tawan oleh mesir di Manshurah). Nah si Louis IX inilah yang berujar pada orang-orang barat:

“Kita sama-sama menjalani pertarungan yang panjang antara islam dan barat. Tidak mungkin kita menghancurkan islam karena islam memiliki metode dan operasional yang bernama Jihad Fisabilillah. Selama masih ada jihad ini pada diri umat islam maka mereka tidak akan pernah kita kalahkan, karena itu harus di buat penyimpangan arti dan pendangkalan makna jihad dalam diri umat islam.”

Maka sejak itu, Barat telah sepakat untuk melancarkan Ghozwul fikri terhadap umat islam dengan menggunakan kekuatan dan sarana – kebudayaan, pendidikan, hukum, dan media komunikasi – yang mereka miliki. Tujuannya untuk MENGHANCURKAN ISLAM!

Metode yang mereka buat adalah:

Metode Pencemaran / pengaburan (Tasywih)

Dengan cara apapun islam harus digambarkan sebagai agama yang kejam, sadis,

kumpulan teroris, doyan perang, dsb. (media massa gencar mengumbar metode ini)

Metode Penyesatan (Tadhlil)

Mendorong umat islam untuk mencintai hal-hal mistik dan magis

Metode pembaratan (Taghrib)

Umat islam di upayakan untuk mengadopsi barat mulai dari lagu-lagu, film, mode

Sampai life sytle…

Metode Modernisasi (Ashriyah)

mereka berusaha meracuni pemikiran umat islam dengan slogan-slogan yang

berbunyi “ ganti gaya hidup kuno dengan gaya hidup yang menjanjikan

kecemerlangan yaitu gaya hidup barat yang modern”

Keempat metode tersebut berlangsung secara bersamaan, terus menerus dan saling memberikan resultan sehingga makin menimbulkan dampak menyeluruh, tanpa pernah disadari oleh umat islam sendiri. Tasywih menyebabkan generasi muda islam pergi meninggalkan islam atau menerapkan ajaran islam dengan skala lokal, yang mengakibatkan rendahnya wajah islam di hadapan agama lain. Tadhlil menyimpangkan umat islam ke arah syirik (lihatlah masyarakat kita yang terlalu percaya pada hal-hal yang dianggap pamali, dukun, dsb). sedangkan taghrib dan ashriyah menenggelamkan gambaran sejarah kegemilangan peradaban islam yang pernah di hadirkan oleh rasul dan para sahabat 14 abad silam.

Dari Gozwul fikri inilah timbul generasi islam yang kosong dari pemahaman wawasan islam (tsaqofah islamiah), tidak mengenal agamanya sendiri, bahkan ikut melecehkan ajaran agamanya. Hal ini berdampak pada pelunturan ekstensi seorang muslim. Semua ini berlangsung dengan penuh kewajaran, ketenangan, tanpa setetes darahpun yang mengalir. Sebagaimana sabda Rasullulah SAW : “satu-persatu islam akan lepas, pertama adalah hukumat (undang-undang dan pemerintahan) dan terakhir adalah shalat.”

Ghozwul fikri inilah yang menyebabkan umat islam takut menegakkan syariat islam! Kita bahkan lebih bisa menerima syariat agama lain yang diterapkan ketimbang syariat islam. For example: saat ini di Bali sudah mulai diterapkan syariat agama hindu, ketika Nyepi, seluruh kegiatan termasuk di bandara harus diliburkan untuk menghormati hari besar mereka. Ngga ada tuh yang protes, enjoy aja. Padahal Bali itu kota international lho, yang pastinya banyak orang-orang asing transit disana. Eh giliran Aceh mau nerapin syariat islam, kok malah di perangi? Ditentang habis-habisan bo…!!!

Yups sekarang kita balik lagi ke Masyarakat Madani….

Karena menurutqu Masyarakat Madani ini akan tercipta dengan tegaknya syariat islam, maka yang perlu di perbaiki adalah masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat itu terdiri dari keluarga-keluarga. Keluarga terdiri dari individu-individu. Individu ini terdiri dari orang tua, anak-anak, remaja dan dewasa.

Untuk menciptakan masyarakat madani bukanlah hal yang mudah, mungkin bisa makan waktu bertahun-tahun. Kita harus membentuk keluarga madani, yang tentunya di bentuk dari individu-individu yang madani pula. Kalo kita mengharapkan para generasi tua berubah itu sama halnya dengan mematahkan pohon yang akarnya telah lama menghunjam tanah, suliiiiiiiiit. Coz biasanya kebanyakan mereka selalu ngotot berada dalam posisi benar (walaupun salah!), oleh karena itu kita fokus membina generasi muda coz pikirannya masih berkembang belum stagnan, jadi mudah menerima kebenaran. Tapi tetep generasi tua ngga boleh dibiarkan begitu aja. Ibarat batu besar yang di tetesi air, lama-lama akan hancur juga. Seperti itu pula generasi tua, lama-kelamaan mereka juga akan ikut kita kok. (he..he…pede banget ya, teori dari mana tuh?)

Jika Individu-individu Madani (IM) telah terbentuk maka mereka akan menciptakan Keluarga-keluarga Madani (KM), lalu dengan sendirinya Masyarakat Madani (MM) akan terwujud.

Kasih bagan lagi yach....

Nah, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana cara menciptakan individu yang madani? Yaitu dengan mengenalkan prilaku yang islami, sehingga terbentuk pribadi yang islami menuju individu yang madani. Buatlah generasi muda islam kembali bangga dengan agamanya. Dengan kata lain kita harus buat metode untuk memerangi metode ghozwul fikri. Cara yang paling mudah adalah dengan menerapkan prilaku islami pada diri kita sendiri, sehingga bisa di tiru oleh yang laen! Why? Coz menurut fitrahnya setiap individu, memiliki hasrat untuk mencari kebenaran yang mendamaikan hatinya. Kita ambil contoh, kisah Nabi Ibrahim as. (Duh teman-teman, mengenai prilaku ini kita diskusikan saja lain kali yah, soalnya banyak banget! Lagipula aqu yakin banget kalian dah tau koq)

Lalu bagaimana kalau menciptakan masyarakat madani dalam otonomi daerah? Yach tetep kembali lagi ke individu-individunya yang harus madani, coz mereka inilah yang akan duduk di seluruh sektor pekerjaan yang ada di daerah itu khan?

Aqu senang ada yang mau menuliskan tentang ini dalam sebuah buku. Aqu harap bukan karena masyarakat madani sedang booming diisukan. Aqu juga berharap buku itu di buat dengan niat untuk mengubah masyarakat kita. Aqu juga berharap penulisnya tidak sekedar menghimpun teori-teori dari orang lain lalu mengerucutkannya. Aqu berharap penulisnya juga menuliskan pendapatnya sendiri. Bukankah seorang penulis tidak boleh terbelenggu? Penulis bebas mengutarakan pemikirannya asal tidak menyimpang dari norma. Menurutqu penulis itu adalah orang yang paling merdeka, coz menulis adalah mengeluarkan pikiran dan pendapat kita secara merdeka.

Kalo mau disimpulkan menulis adalah salah satu cara berdakwah lho. Kita bisa berantas ghozwul fikri dengan pedang pena! So, kita harus buat tulisan yang mampu membangkitkan generasi muda islam yang selama ini tertidur lelap.

Oia, hampir lupa aqu mau nyaranin ke penulisnya, kalo mau buat buku dengan judul “Menciptakan Masyarakat Madani dalam otonomi daerah’ jangan spesifik ke daerah lampung saja. Coz bisa-bisa penerbit yang konon menjamur diluar ga mau nerbitin buku itu. Ya iyalah, abis bukunya spesifik ke lampung doank! Ujung-ujungnya back to penerbit lampung khan? Tapi kalo buku ini tidak spesifik untuk otonomi satu daerah saja, bisa jadi buku ini menyebar ke seluruh nusantara khan …J

Cukup sekian deh, aqu dah capek, lain kali disambung …yang setuju ma pendapatqu ataupun yang punya pendapat lain silahkan Coment here...

Akhwat Father Complex

“ Lho kok, pake kaos kaki laki-laki, mbak?” tanyaku heran melihat kebiasaannya

“ ini punya papa ku. Kenapa emangnya? Ga ada yang ngelarang kan?” jawabnya cuek

“ iya sih, ga ada. Ya udah deh buruan, ntar kita telat” putusku akhirnya. Walaupun dalam hati, aku masih merasa aneh, kok ya doyan banget ama kaos kaki laki-laki. Selintas saja orang bisa menebak yang mana kaos kaki untuk laki-laki dan yang mana kaos kaki untuk perempuan. Padahal belum ada teori yang bisa menjelaskan perbedaan kaos kaki itu, paling banter kita melihat dari warna-warnanya yang kebanyakan gelap sedangkan bentuknya sama saja, kan. Aku melebarkan tarikan bibirku, mencoba tidak menimbulkan gigi-gigi gingsulku, nyengir tertahan. Geli, dengan kepedean akhwat disampingku.

“ Kanapa? Ada yang lucu? Kok nyengir sendiri? “ liriknya menyelidik

“ nggak” sahutku cepat, sambil berusaha mengembalikan bibirku pada keadaan normal.

Sebut saja namanya Titi, bukan nama sebenarnya, kami satu kost-an. Umurnya lebih muda setahun dariku, tapi kupanggil mbak karena ia kuliah lebih dulu dariku. Lagipula ia seniorku di organisasi pers kampus. Nah sejak aku masuk kedunia pers kampus itulah, aku mulai akrab dengannya. Selama ini aku tak pernah punya niat untuk berakrab-akrab dengan Titi, karena sepertinya ia punya dunia lain yang tidak bisa dimasuki orang lain. Dunianya sendiri. Tapi aku mulai bisa merambah dunianya, semakin dalam semakin aneh, misterius.

**@**

Sering aku menyambangi kamarnya, untuk berdiskusi. Kamar kami beda blok jadi agak berjauhan. Tak ada yang berbeda dari kamarnya, sama saja dengan

Kamarku bahkan juga kamar anak-anak lain. Tentu saja kami kan kost di tempat yang sama. Yang membedakan hanyalah letak perabotan yang disusun dan diatur sesuai selera masing-masing. Pintu keluar masuk kamar Titi terletak disebelah kanan bersebelahan dengan pintu kamar lain yang terletak disebelah kamarnya. Begitu pintu terbuka, disebelah kiri ada meja panjang berukuran 200x100 cm yang ujungnya hampir mendekati pintu keluar masuk tadi. Satu meter diatas meja tersebut ada lemari yang terpaku kokoh di dinding berukuran 150x150 cm, lemari itu terbagi dua, 100 cm berupa lemari berisi pakaian, 50 cm dijadikan tempat penyimpanan kosmetik, aksesoris, dan juga foto kedua orangtuanya. Dihadapan meja tadi ada sebuah dipan berukuran 200x100 cm dengan kasur busa beralaskan the pooh warna hijau. Diatas dipan tergeletak sebuah bantal kepala, sebuah guling kembung dan sebuah guling pipih tipis, yang konon kata Titi merupakan hadiah dari papanya saat ia masih kecil. Disamping dipan itu terletak rak bertingkat tiga yang penuh berisi makanan mulai dari mie, telur, permen, beraneka ragam snack, samapai ke detergen seperti rinso, attack, superpell, sabun mandi, dan juga pelicin dan pewangi pakaian macam kispray, rafika, dan molto. Barang-barang khas anak kost lengkap tersedia disana. Karena Titi membuka warka; warung kamar yang khusus melayani anak-anak kost-an yang semuanya akhwat dan malas keluar gerbang kost hanya untuk membeli barang remeh temeh seperti itu, maka warka Titi banyak diserbu warga kost kami. Konon beberapa tahun kemudian warka Titi adalah cikal bakal warka ku. Kembali lagi ke kamar Titi, setelah rak penuh kebutuhan hidup itu ada sebuah pintu yang tepat berhadapan dengan pintu keluar masuk yaitu pintun dapur. Sebenarnya tak pantas disebut dapur, karena hanya ruang kecil berbentuk kotak berukuran 100x150 yang penuh dijejali rak piring, kompor, dan termos air panas serta dirigen minyak tanah. Dapur itu bersebelahan dengan kamar mandi yang luasnya hanaya 200x150cm. Oh iya ada yang sedikit terlupa, dibelakang pintu keluar masuk tadi tergantung tempat sepatu dan kaos kaki yang terbuat dari plastik dilapis kain. Awalnya aku sempat heran karena sepatu-sepatu yang terpajang disana, semuanya model sepatu cowok. Tak perlu bertanya berulang-ulang pada Titi karena ia akan menjawab “ saya suka sepatu itu karena mirip punya papa” atau ketika kutanya alasannya bergelung dengan sarung seperti petugas ronda, jawabnya “ sarung ini punya papa, jika saya pakai saya merasa papa selalu menemani saya”. Nah lho! Jangan-jangan si Titi cowok? Sumpah, 100% aku bisa buktikan kalau dia cewek. Mojang sunda, euy. Mata bundar dengan bulu mata lentik, alis tebal hitam, hidung mancung, bibir merah tanpa gincu, kulit putih, wajah mulus tak berjerawat, gigi tanpa gingsul, rambut ikal, body cewek banget. Untungnya ditutupi dengan pakaian takwa, kalau tidak para cowok bisa nempel kayak perangko. Satu lagi tambahan, ia punya kumis tipis diatas bibirnya, tapi toh, tetap saja bukan bukti kalau dia cowok, kan? Konon cewek berkumis terlihat lebih cantik. Daripada mengatakannya mirip cowok atau macho, aku lebih suka mengatakan kalau Titi menderita Father complex, semua yang ia suka harus berbau papanya.

Biasanya kalau aku datang kekamarnya, Titi sedang asyik membaca dengan kacamata bertengger di matanya, terkadang tidak menyadari jika kacamata itu telah melorot kehidungnya. Titi suka sekali psikologi, seperti saat inipun ia sedang membaca buku psikologi remaja. Aku ingat ia pernah dua kali mencoba ikut UMPTN lagi, untuk masuk fakultas psikologi UI, tapi selalu gagal. Akhirnya ia harus rela mempelajari psikologi via buku saja. Bila ada yang datang kekamarnya untuk berkunjung ataupun membeli jajanan di warka, ia akan tersenyum, melepas kacamatanya, dan menanyakan ada perlu apa mencarinya. Formal, aneh memang tapi itulah Titi.

**@**

Pernah aku dan Titi berdiskusi tentang cinta, tentang kehidupan kami. Bagaimana bila akhwat dan ikhwan saling mencintai, sementara pacaran tak diperbolehkan. Bagaimana kalau akhwat melamar ikhwan lebih dulu. Atau bagaimana tanggapan orang tentang kebiasaan kami pulang pagi karena organisasi kami menuntut seperti itu, organisasi pers yang penuh dengan orang-orang amah tapi menyuarakan kebenaran. Sebenarnya itu terjadi kalau kami sedang deadline Koran, kami harus rela antri ngetik berita dan mendengar ceramah redaktur yang sedang marah, oleh karena itulah kami sering pulang pagi.

“peduli amat pendapat orang, yang tahu apa yang terjadi kan cuma kita. Lagipula kita tidak melakukan hal-hal yang aneh” jawabnya. Dan akupun saat itu mengiyakan. Jika hal itu dilontarkan saat ini, maka aku akan berpikir 100x untuk menyetujui pendapatnya.

Gimana pendapat kamu, kalau cewek nyetus duluan ke cowok?”

“Ehm, gimana ya. Kayaknya aneh deh, kalau aku sih ga berani” sahutku

Gini deh, misalkan akhwat jatuh cinta ke ikhwan, terus dia ga kuat nyimpan perasaannya dan nyetus ke ikhwan dan melamar ikhwan itu, gimana? Tanya Titi sambil memperagakan maksudnya dengan tangannya seakan ia sedang memindah-mindahkan barang.

“Ha…ha…lucu…aku ga kuat” aku terbahak geli sambil memegang perutku yang mendadak ikut geli

“Apanya yang lucu?”tatapnya serius, yang membuatku segera mengatupkan mulut. “Daripada perasaan itu dipendam dan jadi penyakit, bukankah lebih baik diungkapkan biar lega. Toh, siti khodijah sja melamar Nabi Muhammad lebih dulu. Iya kan?” ungkapnya berapi-api

glekk…aku menelan ludah “ ya ga papa sih, kalau akhwatnya berani dan tahan malu. Tapi, kalau ga diterima ama si ikhwan, bukannya akan lebih sakit, mbak? lagipula ga ada ikhwan yang sesempurna Nabi, kan? Bisa saja ikhwan itu akan mempermalukan kita? Atau kalau diterima, mosok harus pacaran? Apa kata dunia?” timpalku

“Bukan pacaran tapi langsung ajak menikah…”balas Titi

“ Gubraak…tuh akhwat berani amat. Salut kalau ada yang bisa begitu. Emangnya mbak berani nyetus duluan?” tanyaku

“Ya, tapi ditolak” jawabnya tenang, yang justru membuatku melongo abis. Dan terbongkarlah rahasia bahwa ia pernah nyetus dan melamar seorang ikhwan yang sifatnya mirip papanya, namun ditolak. Alasan si ikhwan menolaknya karena ikhwan itu telah berjanji akan menikahi gadis teman sekolahnya dulu, maka Titi harus rela dianggap sebagai adik saja. Huh,…bukankah sama saja si ikhwan tidak menjaga hatinya. Lagaknya ikhwan nyatanya sama saja seperti orang ammah. Kebetulan aku juga kenal dengan ikhwan itu, kukira dia ikhwan yang ngikhwan nyatanya dia ikhwan yang ngikhwin, maksudku setengah-setengah.

‘Tolong jangan ceritakan pada siapapun, jadikan pelajaran bagimu ya” pinta Titi yang kubalas dengan anggukan. Tentu saja, masa aku membongkar aib teman sendiri. Tapi nyatanya Titi tak Cuma bercerita padaku, hampir sebagian anak kost kami tahu mengenai ceritanya. Nah lho? Aneh kan, sifat si Father complex itu, susah ditebak.

**@**

Aku memang sempat bingung dengan sifat Titi. Kadang ia begitu terbuka, kadang menjadi tertutup berhari-hari, meledak-ledak tak terkira, ramah bukan main lalu tibab-tiba berubah angkuh pada saat yang bersamaan.

Akhirnya aku tahu juga penyebab semua itu. Penyebab sifat aneh Titi, penyebab ia selalu mencari perhatian dari orang laian, penyebab ia menjadi father complex. Semuanya karena Titi mengalami broken home. Titi bercerita bahwa papa yang sangat dikaguminya mempunyai istri lagi selain mamanya. Bahkan mempunyai anak juga. Seminggu dibagi untuk dua keluarga, 4 hari untuk mama titi, 3 hari untuk istri muda, atau justru sebaliknya. Tapi Titi tidak bisa membenci papanya, justru ia sangat merindukan papanya. Maka ketika ia kuliah di seberang laut, Lampung maksudku. Titi ‘mencuri’ kain sarung, kaos kaki, baju dan barang lain milik papanya, dengan begitu ia merasa papanya selalu ada didekatnya. Dan seperti biasanya Titi mengakhiri ceritanya dengan memintaku untuk tidak menceritakan hal itu pada orang lain. Dan masih sama seperti hari-hari yang lalu akupun berjanji tidak membongkarnya, aku harus menjaga kepercayaan Titi, tekadku. Tapi tak dinyanya ternyata orang lain sudah lebih dulu tahu dariku. Aku geregetan sekali dengan sikap Titi itu. Tapi lagi-lagi aku berusaha memahaminya, mungkin latar belakang broken home yang telah membuat sifat Titi seperti itu.

Persahabatan aku dan Titi mulai renggang, ketika ia dengan membabi buta membela seorang laki-laki yang nyata-nyata melakukan kesalahan. Laki-laki itu berada dalam satu organisasi dengan kami. Laki-laki yang dicintai Titi, Laki-laki yang mirip papanya, laki-laki yang tak lain adalah ikhwan yang dilamar Titi waktu itu. Aku memandang persoalan secara logika, namun Titi menggunakan seluruh perasaannya. Dalam logikaku sebaik apapun seseorang, kalau ia menggunakan uang organisasi dengan prosedur yang salah, maka orang itu tetaplah salah. Masalah itu menimbulkan ketegangan dalam organisasi pers kampus kami, ada yang pro, ada yang kontra. Malamnya Titi datang ke kamarku, ia bicara ketus menanyakan apa maksudku. Kujelaskan dengan tenang apa pendapatku. Tiba-tiba Titi bangkit dari dipanku, menghentak-hentakkan kaki, menudingkan jari telunjuknya padaku dan berkata: “ Kamu ga berhak menuduh orang sembarangan. Lagipula ia sudah mengganti uang itu, pikir pakai perasaan dong” bentaknya

Aku meradang, gigiku bergemeletuk. Aku bicara baik-baik tapi dibalas dengan bentakan. Aku tidak terima dituding seperti itu. Maka kulontarkan kata-kata yang lumayan kasar

“Eh, mbak pikir itu pakai logika jangan Cuma perasaan aja. Aku tidak menuduh dia jahat, aku hanya menyalahkan cara yang digunakannya. Agar menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak melakukan hal yang serupa”

“Alah, apapun alas an kamu, yang jelas kamu menuduhnya. Tapi, saya minta permasalahan ini tidak akan mempengaruhi keputusan kamu untuk memilihnya sebagai ketua baru, kalau sampai berkurang satu suara, itu berarti suara kamu. Ingat itu” Titi masih mengacungkan telunjuknya di depan wajahku

“Eh, mbak, itu urusan dan hak ku” semburku sambil menepis telunjuknya

‘Terserah, tapi kamu munafik, menjilat ludahmu sendiri kalau samapai kamu berubah pikiran” bentak Titi sambil membanting pintu kamarku.

Kuurut dadaku yang terasa sesak, kuhembuslan nafas berkali-kali. Huh, cinta benar-benar bisa membutakan mata, sampai-sampai logika tak lagi berjalan. Sejak saat itu aku dan titi tak bisa bersikap biasa, walaupun aku sudah mencoba menetralisir keadaan dengan meminta maaf padanya, tetap saja ada dinding tipis yang memisahkan kami. Dan yang lebih menyakitkan, ia mengumbar pertengkaran kami malam itu pada teman-teman di organisasi pers, dimana aku berada dalam posisi dipojokkan dan disalahkan. Semua memandang negatif padaku, tersebar kabar kalau akau menyukai ikhwan itu. Astagfirullah… Titi benar-benar keterlaluan. Walaupun akhirnya kabar itu reda karena penjelasanku. Sejak saat itu aku memutuskan hengkang dari organisasi pers kampus yang ammah dan mendalami organisasi kepenulisan bernafas islam.

Kumaafkan Titi yang datang menghiba dihadapanku, yang meminta maaf atas khilafnya. Kumaafkan, mengingat kondisi psikologisnya, namun aku tak pernah bisa percaya padanya lagi.

“Ah Titi mah biasa seperti itu. Namanya juga produk broken home” Komentar teman satu kost

“Titi kan memang sering kontrol ke psikiater, wajarlah kalau agak-agak sinting. Sayang sih padahal pakai jilbab, malu-maluin aja” komentar teman yang satu daerah dengannya.

Sungguh aku sedih mendengar komentar-komentar itu. Mungkin benar psikologinya terganggu tapi jangan salahkan jilbabnya. Toh, kalau bisa memilih, aku yakin Titi tak ingin menjadi produk broken home. Aku yakin Titi pun merasa tersiksa dengan keadaannya saat ini.

Perkenalanku dengan Titi membuatku mencoba memahami sifat-sifat dan sikap dari orang yang ada disekelilingku. Mencoba mengerti bahwa sifat dan sikap itu dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan lingkungan. Membuatku bisa bersabar jika ada orang-orang yang seperti Titi lagi.

New Café, 300606

Menggenggam asa yang luput

Jika kata tak lagi mengurai makna

Jika pertemuan tak lagi di anggap berarti

Jika harapan menjelma keputusasaan

Jika amanah menjadi luapan rutinitas

Apatah lagi yang harus dilakukan?


Saat persahabatan tak lagi di genggam

Saat semua ucap tak lagi mencipta nyaman

Saat wajah tak lagi berhias senyum

Saat hati tak lagi sejalan

Apatah lagi yang harus dikatakan?

Bila langit tak lagi bercerita

Bila bintang & bulan tak lagi beriring

Bila pelangi tak lagi berwarna ceria

Bila hujan tak lagi mencair aroma

Apatah lagi rasanya hidup?

Ketika usia semakin menuju lelah

Ketika rezeki semakin menghantui

Ketika perasaan semakin menguasai

Ketika tanggungan semakin terjawab

Apatah lagi yang harus dituntut?

Saat “terserah saya” terlontar, saat diri merasa tinggi

Saat “terserahlah deh” terlontar, saat diri merasa lemah

Saat “terserahlah“ terlontar, saat diri merasa putus asa

Saat “terserah! terserah! terserah! terlontar, saat diri tak lagi punya harapan

Apatah lagi yang bisa membangkitkan?

( when I have lost my spirit but I try to find my old spirit, old,…old spirit…far away from my eyes but near….to my heart)

LELAKI YANG TERPASUNG SENJA

Aku selalu membisu bila mereka berbicara pernikahan. Bukan aku tak mau, hanya saja ini manifestasi dari protesku. Aku tak menyesali hal ini, biarkan saja mereka yang merasa menyesal. Tokh mereka yang menciptakan aku begini. Setelah terpuruk begitu lama, kini aku berani bangkit merajut kembali jaring-jaring kehidupanku. Yang kutahu makin lama makin luas, sampai tak ingin kembali ke pangkal. Namun aku menikmati jaring-jaring ini. Aku merasa terlindungi. Memang ibarat tornado jalanku kini, meratakan semua bangunan yang dilalui, membuat setiap yang kehilangan meneteskan airmata, meratap perih. Termasuk mata mereka. Mata Ibu dan kedua kakak perempuanku.

Dejavu itu selalu terjadi, berulang-ulang kali. Dari aku ataupun dari mereka -ibu dan kakak perempuanku- Bahkan saat tak jarang kedua kakakku yang telah menikah itu, memboyong anak-anaknya selama beberapa hari kerumah ini, rumah ibu. Tujuannya tak lain tak bukan, bermaksud melunturkan niatku. Selalu semua itu yang terulang. Keenggananku untuk menikah. Penungguan mereka akan anggukan kepalaku. Selalu hanya itu saja. Namun harus ku akui mereka adalah orang-orang yang gigih, luarbiasa bahkan. Tak peduli waktu yang terus berjalan dan berlalu, pertanyaan dan permintaan yang sama selalu kembali hadir. Pertanyaan dan permintaan itu terus menyelusup dalam setiap waktuku, melemparku kembali ke peristiwa-peristiwa silam yang tercipta bersama mereka.

Saat senja ketika menonton kotak segiempat yang bisa bicara adalah saat biasanya mereka membicarakan hal itu. Dulu dan kini pun tetap sama, bedanya kini kedua kakak perempuanku itu sudah agak jarang bicara itu - hanya Ibu yang masih setia mengajukan pertanyaan- Kini bila mereka telah bicara soal teman hidupku, pandangan mereka akan bertumpu pada satu arah, mataku. Tatapan sarat permohonan –maaf- terbaca disana. Dengan suara yang lembut, lebih sering memelas, mereka memulai suasana percakapan-percakapan itu. Yang bagiku terasa bagai berada diantara desingan-desingan peluru, dimana semuanya berusaha bersarang di hatiku. Sambil mengunyah makanan ringan yang disediakan ibu, –kebiasaan ibu yang tak pernah tidak kusukai-, kata-kata itu berlarian kencang dari mulut mereka secara bergantian, terkadang tumpang tindih. Tak sekalipun kubantah mereka –aku membisu- dan kurasakan waktu berputar lambat sekali, seakan sengaja dihentikan khusus agar aku menikamati saat-saat senja begini.

Dulu aku tak seperti ini – membisu –. Dulu aku yang menggebu-gebu ingin menikah secepatnya, bahkan saat aku baru menamatkan bangku sekolah menengah. Namun kini tak ada lagi hasratku untuk hal itu. Mereka yang membuatku seperti ini. Mereka yang mendepak semua calon-calon yang kuajukan, hanya karena calon yang kuajukan sebaya dengan umur mereka – dua kakak perempuanku –

Mereka tak rela satu-satunya adik lelaki yang mereka miliki berasyik masyuk dengan wanita yang seumur mereka. Ketiga perempuan –ayah telah pergi - dalam rumahku inilah yang dulu membentuk karakterku, semi militer sekaligus berlimpah kasih sayang mereka terapkan. Lalu ketika dua kakak perempuanku itu menikah, tak ada lagi tempatku bermanja selain ibu. Namun aku merasa goyah, merasa sangat kehilangan. Lalu kutemukan pengganti kakak-kakakku itu pada sosok yang sebaya mereka. Lantas mereka tak setuju, tanpa memikirkan perasaanku. Tiga kali penolakan mereka terhadap calon-calon yang kuajukan, cukup membentuk diriku yang sekarang.

Saat aku menikmati pilihanku kini, mereka mulai merengek dan memintaku menikah. Bahkan dengan calon-calonku yang dulu pun tak apa-apa. Huh, mereka tak tahu bahwa Sifa, Meta ataupun Ciwi telah bahagia dengan orang lain, bahkan telah memiliki anak. Mengapa mereka melakukan hal ini padaku. Karena kasihan padaku yang terus membujang hingga lewat kepala tiga.


Kau telah tua, Ryan. Tak lama lagi ibu berada disekitarmu. Ibu akan segera menjemput maut. Siapa yang akan menemani mu nanti, kau akan kesepian, merasakan kesunyian sepeninggalku. Oh, Segeralah menikah. Kata-kata itu yang paling sering diucapkan ibu. Semacam ketakutan berbaur kecemasan, karena ragu bisa mewujudkan hal itu. Sejujurnya, aku muak mendengar ucapan yang itu-itu saja. Karena hampir menggoyahkan keasyikanku bermesra dengan kekasihku saat ini, kesendirian.

Dejavu ini selalu terulang, rasanya telah ratusan kali. Percakapan ini bisa sangat lama, terkadang menyebabkan kebekuan selama berhari-hari. Mereka tak jua bisa mengerti, mengapa aku menikmati kesendirianku. Cinta bagiku hanyalah sesuatu yang menyakitkan dan melelahkan. Aku merasakan derita oleh wanita untuk wanita. Kusadari itu, maka aku tak lagi peduli pada cinta. Biarkan kunikmati hidupku, menyulam jaring kesunyian.

- @Z -

Aku tahu kau kembali membisu. Baru ku ambil posisi, belum lagi genap air liurku merangkai kata, kau sudah membisu. Aku tak pernah menyangka kau bisa seperti ini. Dingin. Bagaimana bisa kau yang dulu begitu bersemangat ingin menikah, kini tak punya hasrat.

Aku menyadari perbuatan kami. aku dan anak perempuanku. Bukan tanpa sebab, kami menolak. Aku sadari, akulah yang menciptakan ketidaksukaan kakak-kakak perempuanmu terhadap pernikahan timpang umur. Aku yang menanamkan cerita-cerita pilu ke benak mereka. Aku begitu putus asa, begitu emosi, dan tak bisa terima keadaanku. Berawal dari kekerdilan suamiku, yang merasa belum dewasa, merasa terlalu muda bagiku. Hanya dengan alasan itu, Ia pergi meninggalkanku dan kalian yang masih hijau. Kusesali, maka kutanamkan pada mereka untuk tidak menikah dengan laki-laki yang lebih muda.

Aku mengerti penolakan mereka pada calon-calonmu dulu, bukan karena mereka tak suka. Hanya mereka ingin melindungi calon-calonmu itu agar tidak sepertiku. Dan juga melindungimu, agar tak melakukan perbuatan yang sama kerdilnya dengan yang dilakukan suamiku. Aku tahu kau tak bisa disamakan dengan dengan dia, yang pergi begitu saja. Aku tahu kau cukup dewasa kala itu, cukup bertanggung jawab. Aku sebenarnya sudah tahu bahwa penolakan kakak-kakakmu itu, akan memancing suasana hatimu. Akupun tahu bahwa hal itu tak baik dilakukan, namun egoku sebagai perempuan yang ditinggalkan menguasaiku. Aku tak mencegah penolakan-penolakan itu, bahkan aku ikut serta memanasi.

Dan benar dugaanku, kau jadi seperti ini. Memilih jalan kesunyian, menikmati kesendirian, tak bisa tergoyahkan –dasarnya memang kau keras kepala-. Tapi sanggupkah kau sendirian, benar-benar sendiri. Sekarang memang benar kau menikmati kesunyian itu, tapi masih ada aku di sekelilingmu, yang siap menampung keluh kesahmu. Tapi bila aku telah tiada, pada siapa kau akan melabuhkan kesahmu. Aku khawatir kau tak akan kuat, Ryan.

Aku tak pernah membenci dia, Ryan. Aku hanya tak suka perbuatannya yang tak bertanggung jawab. Aku hanya tak suka ia tak menepati ucapannya, tapi aku tak membencinya. Lamat-lamat bait hatiku masih mengharapkan dan merindukannya, walau ku tahu ia telah bersama yang lain. Aku sakit hati, tentu saja ya. Karena aku wanita, maka aku tak ingin kaumku yang lain ikut terluka. Maka ku dukung penolakan calonmu. Aku yakin kau tidak membenci wanita, anakku. Aku tahu itu dari wajah yang selalu kau tunjukkan, kala memandangku.

-@Z-

Aku menikmati kesunyianku, kesendirianku. Aku bahagia dengan semua ini, aku sudah biasa bercengkrama dengan sunyi, karena itulah tempat yang bisa menghubungkanku dengan kekasihku yang sesungguhnya. Aku puas dengan cinta-Nya, maka aku tak lagi membutuhkan wanita yang hanya akan mengganggu kemesraanku dengan-Nya. Aku tak membenci kaummu, bu. Hanya saja aku mulai bisa mengerti, bahwa aku sebagai laki-laki bisa menciptakan luka pada kaum mu yang tak bisa kunjung sembuh. Seperti dirimu. Maka aku ragu untuk menikah, benar-benar ragu, bu.

-@Z-

Oh Ryan, anakku. Segeralah menikah. Bukankah kekasihmu menganjurkan begitu, dalam firmannya. Mengapa kau sakiti dia dengan pilihanmu. Berpikirlah anakku, sebelum terlambat! Ingatlah bahwa kita akan ditanyai oleh-Nya kelak, tentang pilihan-pilihan yang kita ambil.

Maafkanlah aku, bila kisahku menjadi bayang-bayang hidupmu. Membuatmu berpikir untuk memilih jalan ini. Sungguh aku sudah memaafkannya, tak ada lagi luka di diriku, semua sudah hilang. Percayalah padaku, anakku. Jangan ragu untuk menerima permohonan kami. Jangan buat aku membenci diriku sendiri, Ryan. Bila kau masih saja seperti itu, aku akan terus menyalahkan diriku. Aku akan mengutuk diriku sendiri, anakku.

-@Z-

Sudahlah bu, tak perlu seperti itu. Tak usah menebak-nebak dan menyalahkan diri sendiri. Tak usah terlalu jauh menyimpulkan sesuatu. Jaring kesunyian ini adalah pilihan ku. Berulang kali aku mengatakan, aku menikmatinya. Aku tak merasakan kesedihan, aku juga tak merasakan perih ataupun duka. Aku bahagia, bu. Tak perlu khawatir padaku, sepeninggalmu bu. Aku bisa bercengkerama dengan kesunyianku yang sangat rajin ku sulam saat ini. Aku yakin jaring ini akan semakin lebar dan akan melindungiku, bu. Mendekap dan memberi kehangatan pada ku. Sudahlah, lebih baik Ibu beristirahat dan kita akhiri saja dejavu ini. Senja mulai beranjak pergi, bu.

-@Z-

080207, One year when my younger brother had gone

Karena Rakus

Pada zaman dahulu kala, ada dua orang perempuan bersaudara. Mereka tinggal di sebuah rumah yang sudah sangat jelek di dekat sebuah hutan rimba. Sang kakak mempunyai sifat rakus dan cerewet, sedangkan adiknya mempunyai sifat yang ramah dan jujur. Mereka hidup dari menjual bunga, yang mereka petik dari hutan.

Suatu hari ketika sang adik sedang mencari bunga di hutan, tak sengaja ia tersandung akar pepohonan sehingga keranjang bunganya jatuh ke jurang di hadapannya. Karena takut di marahi kakaknya, ia pun menangis. Seorang peri cantik tiba-tiba muncul dan menghampiri, lalu bertanya mengapa ia menangis.

“ Keranjang ku jatuh ke jurang. Aku takut kakakku memarahiku. Kami sangat miskin jadi tidak mungkin bias membeli keranjang yang baru”

Peri itu lalu terjun ke dalam jurang dan muncul dengan membawa sebuah keranjang dari kayu jati yang berisi lempengan emas. Tapi sang adik berkata bahwa keranjang itu bukan miliknya.

“ itu bukan keranjangku. Keranjangku bukan dari kayu jati dan tidak berisi emas.” Kata sang adik

lalu peri itu terjun ke jurang lagi dan kali ini membawa sebuah keranjang dari papan yang penuh berisi uang. Tetapi lagi-lagi sang adik berkata bahwa keranjang itu juga buka miliknya

“ itu bukan keranjangku. Keranjangku tidak terbuat papan dan tidak berisi uang.” Kata sang adik lagi

Untuk ketiga kalinya, peri cantik itu terjun ke dalam jurang dan muncul dengan membawa sebuah keranjang bamboo berisi bunga. Kali ini sang adik berkata bahwa keranjang itu adalah miliknya.

“ Ya, benar. Itulah keranjangku!” Seru sang adik gembira

Peri cantik itu pun memuji kejujurannya, sehingga ia mengembalikan keranjang bunga tersebut dan juga menghadiahkan makanan dan buah-buahan yang sangat banyak pada sang adik.

Setelah pulang ke rumah. Sang adik memberitahu kejadian di hutan tadi pada kakaknya. Sang kakak sangat marah dan menghardik adiknya karena kebodohannya itu.

“ Kau bodoh sekali! Seharusnya kau akui saja keranjang jati itu sebagai milikmu. Maka kita akan kaya, tidak perlu menjual bunga lagi.” Hardik sang kakak

Lalu sang kakak pergi mencari bunga di hutan. Ia sengaja melemparkan keranjang bunganya ke dalam jurang dan berpura-pura menangis. Seorang peri cantik tiba-tiba muncul dan bertanya mengapa ia menangis. Sang kakak memberitahu bahwa keranjangnya jatuh ke jurang.

Sang peri cantik pun terjun ke jurang dan muncul dengan membawa keranjang dari kayu jati yang berisi emas berkilauan. Dan sang kakak pun berkata bahwa keranjang itu miliknya. Peri cantik itu menjadi marah dan melemparkan keranjang jati itu ke dalam jurang. Sang kakak yang gelap mata melihat emas yang berkilauan, tanpa pikir panjang terjun ke jurang untuk mengambil keranjang itu. Tapi jurang itu sangat dalam dan ia lupa kalau ia hanya manusia biasa yang tak memiliki sayap untuk terbang. Maka tewaslah sang kakak di dasar jurang yang dalam.

*****

Senin, 22 September 2008

DANGEROUS LEARN

The true author is nature to benefit make up

With brain God but never do to expressed

Good art comes from hard doing, not lucky

As like who have treated to sing

When you find the heating wind roll

In your journey it attacks the ship

If epigraphy paints with murmurs colour

The readers created with bad creatures

Then at the last with those colour unmeaning

They do without a though of long brain

Just couplet ends the painting
Like satan deceived Eve ate Khuldi slowly



Nunyai Permai, 27th january 2008

At 11.36 A.M

Kamis, 11 September 2008

PIKIRAN DAN SENJATA PEMULA

Banyak penulis pemula yang bingung untuk memulai menulis, padahal mereka memiliki semangat yang menggebu-gebu untuk menulis. Namun ketika sudah duduk didepan komputer atau telah siap dengan pena di tangan, tiba-tiba pikiran jadi melanglang buana kemana-mana dan akhirnya kehilangan jejak alias ngeblank mau nulis apa.

Aha…pernah mengalami hal seperti itu?

Aha ...ada solusinya kok!

Yups, sekarang kamu bisa menangani masalah diatas dengan cara berikut:

Pertama-tama perhatikan pena yang akan kamu gunakan untuk menulis. Pena yang dipilih haruslah lancar. Why? karena pikiran kamu selalu lebih cepat daripada tangan kamu. Kamu tentunya ga pengen kan membuat tangan kamu lebih lambat hanya karena pena yang kamu pakai macet! Sebuah pensil, pena biasa atau spidol sudah pasti lambat. So, carilah pena tinta. Yang murah aja dan ada isi ulangnya.

Kedua, pikirkan buku tulis yang akan kamu pakai. Ini penting sekali. Ibaratnya ini adalah senjata kedua kamu, seperti palu & paku bagi tukang kayu. Kadang-kadang kita sering membeli buku tulis bersampul tebal dan mahal. Buku ini biasanya besar dan bagus, serta bergaya. Oleh sebab itu, kita terdorong untuk menuliskan sesuatu yang bagus-bagus saja (sayang boo, kertasnya alus sih n mahal...) padahal kita harus merasa boleh menulis apa saja bahkan sampah sekalipun. Maka berilah ruang luas agar kita bisa menjelajahi menulis dengan mudah. Belilah buku tulis yang biasa-biasa saja, tipis agar mudah habis sehingga kita akan segera mengganti dengan yang baru, ukurannya kecil saja agar mudah dibawa kemana-mana, kalau bisa bergambar lucu agar kalau lagi bete bisa liatin gambar itu. Atau jika kamu kreatif, potong kertas A4 atau folio bekas yang belakangnya masih bisa dipakai jadi empat bagian, trus kamu straples, jadi deh BSS (buku sangat sederhana, maksudnya). Yakin deh, kamu ga bakal sayang untuk coret-coret dan ga bakal ngerasa harus nulis yang bagus-bagus aja, karena kamu bisa nulis apa aja dikertas bekas, sekaligus kampanye lingkungan kan?

Kadang-kadang, alih-alih menulis dibuku, kamu ingin langsung menulis didepan komputer (ini sih buat yang punya komputer lho...) cobalah mengetik dengan cara memejamkan mata (dengan catatan kamu hapal letak huruf-huruf di keyboard ^_^) lakukan tanpa henti, tanpa perlu khawatir ada lonceng kecil yang berdenting seperti di mesin ketik, karena komputer akan secara otamatis mengganti baris. (pernah ngetik pake mesin ketik ga?kalau belum pernah, coba deh sekali-kali, pasti kamu akan mendengar lonceng berbunyi kalau baris sudah habis.)

Langkah selanjutnya adalah LATIHAN MENULIS BERBATAS WAKTU. Kamu harus menetapkan waktu, misal 10 menit, 20 menit atau bahkan satu jam. Terserah deh. Tapi sebaiknya jika masih pemula, mulailah dengan waktu yang kecil dulu, baru kemudian tingkatkan. Seperti halnya pelari yang berlatih berlari, awalnya jarak yang ditempuh pendek, lama kelamaan akan terus meningkat, bukan?

Setelah menentukan waktu, maka kamu harus berkomitmen seperti petunjuk berikut selama jangka waktu yang sudah kamu tentukan tersebut:

  1. Gerakkan terus tanganmu. (jangan berhenti hanya untuk membaca apa yang baru kamu tulis. Karena hal itu akan membuat pikiranmu buntu dan mencoba mengambil alih atas apa yang kamu tuliskan)
  2. Jangan mencoret (karena hal ini berarti mengedit sambil menulis. Walaupun kamu menulis sesuatu yang tidak kamu maksudkan atau tidak wajar menurut pikiranmu, biarkan saja)
  3. Jangan pikirkan soal ejaan, tanda baca, tata bahasa saat menulis. (nanti kan ada tahap editing!)
  4. Lepaskan kontrol, menulislah dengan bebas, tanpa terikat dan takut pada norma atau aturan sosial yang ada.
  5. Jangan berpikir. (Jangan merasa harus menulis secara logis - pen)